Lihat ke Halaman Asli

Frengki Nur Fariya Pratama

Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Dari Gurat Usang untuk Harapan yang Gemilang

Diperbarui: 14 September 2020   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

"Ada tiga cara orang memahami dan menyampaikan masa lalunya, yaitu lewat mitos, sastra, dan sejarah. Ketiga cara itu mempunyai keabsahan sendiri, yang tak bisa dibandingkan kebenarannya."

(Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, 2019: 27)

Disekian bulan mungkin yang bisa dilakukan hanyalah mengenang. Karena, kegiatan itu sudah lama berlalu. Menjelma rotasi kenangan bermakna yang selalu mengudara dibenak, hati dan meraung di kepala, untuk selalu bergerak memajukan kebudayaan Indonesia.

Hanya demi memajukan kebudayaan sesuai alam pikiran anak muda. Hal itu, tak lain dan tak bukan karena pernah singgah dalam kawah incubator. Layaknya, kawah candradimuka tempat penempaan sang Gatotkaca, bernama KBKM 2019.

Mungkin itu sangat hiperbolis. Namun, semangat itu memang benar-benar saya dapatkan. Bersinggungan, begadang malam, bolos senam, selalu berusaha mendapat kopi gratisan untuk teman ngobrol.

Khas sekali dengan watak pemuda yang sok ngotot dengan aturan. Ingin bebas dan berdiri dengan pendiriannya sendiri. Disanalah saya menemukan kawan perjuangan senasib-seperjuangan yang ngotot memajukan kebudayaan.

Saya menyebut KBKM itu sendiri senbagai kawah patuladan. Sebuah ruang yang memberikan contoh kepada siapa saja agar berpikir progresif untuk memajukan kebudayaan sesuai dengan kondisi zaman. Barang pasti, tarikan antara dua irisan masa lalu dan masa depan menjadi pijakan di masa pergerakan -masa kini.

Seperti halnya kali pertama saya menemukan acara ini seolah saya bersentuhan dengan ibu yang sejak lama tak mengasuh anaknya, dalam ranah memikirkan nasib kebudayaan. Mungkin, masih banyak lagi pemuda yang setulus hati memikirkan nasib kebudayaan. Namun, terkendala masalah biaya, birokrasi dan masalah kepercayaan dari pemerintah maupun kaum tua generasi sebelum saya.

Harapan seketika menggaung di kepala. Berharap, keluh kesah mengenai pengembangan kebudayaan, yang sejak awal belum ternauingi mendapat angin segar. Sebagai orang yang menekuni dan mencintai manuskrip, tentu Kajian saya berhubungan dengan manuskrip, yang kata kebanyakan orang disebut sebagai filolog.

Manuskrip ini saya manfaatkan untuk melihat Reyog Ponorogo dalam ruang lingkup perkembangannya. Kesenian asli kota Ponorogo Jawa Timur.

Tentu, tak semudah itu mengkaji manuskrip. Banyak rintangan dan keterbatasan. Yang paling kentara, ya! Kendala pendanaan untuk menyentuh/mengkaji dan mengumpulkan bentuk digital manuskripnya. Kedua, bagaimana hasil kajian ini dimanfaatkan oleh pemerintah yang bersangkutan. Nah, disinilah letak keterbatasan pemuda untuk bergerak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline