Lihat ke Halaman Asli

Frengki Nur Fariya Pratama

Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Hati-hati Jerat Fetisisme

Diperbarui: 3 Juni 2020   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

headstuff.org

Fetisisme secara tak sadar membelenggu manusia. Entah tua atau muda semuanya tergiring melupakan hakikat keberadaannya. Terjebak dalam simulacra yang menutupi kodrat mereka sebagai manusia. Terhegemoni budaya populer yang sengaja diarahkan pada satu titik. Pembungkaman adab, moralitas dan rasa kemanusiaan.

Hujan tak kunjung datang, panas dirasakan sekujur badan. Kiranya begitu pula dengan panas akibat merebaknya imago/citra yang benar-benar memberangus kodrat kemanusiaan. Glamorisme begitu diagungkan sebagai ideologi yang dianggap menyelamatkan dunia dan akhirat. Membutakan tendensi framing citra yang sedang dibuat oleh para adidaya.

Mereka yang terhegemoni benar-benar hanyut dalam gegap gempita. Tanpa menelaah, sejatinya apa yang sedang diarahkan pada mereka? Efeknya, keputusasaan acap kali mendera mereka. Menjadikan mereka manusia yang gampang patah semangat, patah arah dan tak mesyukuri keadaan. Demi glamoritas itu mereka pun rela melakukan apa saja. Tak bisa menjadi dan menghargai diri sendiri. Cenderung lebih mengagumkan budaya luar yang dianggap primordial.

Tampakan atau tataran "surface" yang hanya bisa perlihatkan. Selalu terkukung pada konsepsi "bagaimana bisa dipandang lebih dari yang lain" Tak memperhitungkan sifat asli dan kemampuan mereka. Semua berubah menjadi kebohongan yang membudidaya dalam sanubari.

Masih belum percaya dan bertanya-tanya?

Coba kita tengok beberapa kasus yang terjadi. Hanya demi benda duniawi mereka membunuh orang tuanya sendiri, mencuri, sampai rela menjual diri. Dari artis yang hidupnya mewah sampai mahasiswa-mahasiwi yang dipandang intelek rela melakukan hal yang tak sewajarnya.

Kasus paling aktual prihal dugaan kasus prostitusi online yang melibatkan  mantan finalis putri pariwisata Indonesia (26/10/2019 news.detik.com). PA mengaku bersalah atas kegaduhan yang terjadi. Perlu kita telaah kembali faktor apa penyebabnya. Faktor ekonomi, gaya hidup atau faktor lainnya.

Perlu diingat, saat ini dunia kita penuh dengan simulacra yang membiuskan. Manusia hanya cinta dengan simbol-simbol sosial. Citraan pun beramai-ramai dibuat demi mendongkrak kebutuhan hidup segelintir orang. Mulai dari kebutuhan ekonomi, politik, dan berbagai kebutuhan remeh lainnya. Semua diciptakan untuk meng-hegemoni massa agar mudah dikendalikan.

Dibuat sedemikian rupa untuk mengarahkan para penikmat citra melupakan kodratnya, dikurung pribadinya, lalu dituntut mengviruskannya. Hingga terpikat dan mencandu. Kebutuhan yang sejatinya skunder berubah menjadi primer. Padahal, tanpa itu tak mempengaruhi kehidupannya. Psikologi manusialah yang diacak-acak.

Begitu pula kasus yang menimpa finalis putri pariwisata itu. Mungkin, gaya hiduplah yang mendorong hilangnya kesadaran dirinya. Pengaruh citra dibenaknya membuat tampilan menarik dan glamor sebagai kebutuhan wajib (primer) tergenggam. Padahal, kondisi ekonomi tak demikian. Dengan terpaksa menawarkan suatu kelebihan yang dimilikinya. Tubuh menawan yang diberikan oleh Tuhan.

Banyak manusia yang saat ini terjebak fetisisme "simbol-simbol status sosial" Apalagi era sekarang, media penyebarannya terhitung sangat mudah. Viral menjadi barang yang ditunggu-tunggu untuk ditiru. Sekedar menuruti pandangan kebanyakan masyarakat umum. Tanpa mengkaji lebih dalam efek dan kebermanfaatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline