Lihat ke Halaman Asli

Frengki Nur Fariya Pratama

Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Korona Ibarat Aib?

Diperbarui: 30 Mei 2020   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detik.com

Sudah banyak berita beredar prihal Covid-19 yang umum disebut sebagai Korona. Terhitung 26 Mei 2020 tercatat 23.165 orang terjangkit Covid-19. Angka yang begitu fantastis dan menakutkan. Terkait update pasien positif Covid-19 pun sangat gampang ditemukan di dunia maya. 

Hampir seluruh media mengabarkannya. Mengesampingkan, benar atau salah penyebutkan Korona untuk penyakit Covid-19 dan fantastisnya penambahan pasien. Nyatanya, masyarakat semakin ajek keluar rumah. Apalagi dimasa lebaran ini. Rasa takut masyarakat sejujurnya semakin memuncak. Namun, mereka terpaksa keluar untuk tetap hidup. Lalu, bagaimana efek yang terjadi di masyarakat?

Sebagai contoh carut-marut penangangan Covid-19 yang ada di Ponorogo, Jawa Timur . Pemerintahan desa berupaya untuk menghalau tradisi warga untuk bersilaturahmi atau warga Ponorogo sebut sebagai sejarah. Hampir seluruh jalur masuk desa-desa di Ponorogo diblokir. Dari sekian tahun, untuk kali pertamanya sejarah lebaran tak ada di Ponorogo. Lebaran jadi lesu dan sepi.

Masyarakat desa tak diijinkan keluar dari desa. Begitu pula sebaliknya, warga luar desa juga tak diperbolehkan masuk. Hampir seluruh desa menerapkan satu pintu untuk masuk ke desa. 

Akses lain diblokir secara statis. Kebanyakan urung keluar rumah dan lebih mewaspadai terhadap Korona. Eh, mungkin tak hanya waspada, masyarakat semakin takut dengan Korona. Bahkan Korona sampai dianggap aib yang tak boleh terdengar orang.

Seperti kasus salah seorang wartawan di Ponorogo yang mendapatkan perundungan dari salah satu perangkat desa. Wartawan itu mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan dari salah satu perangkat desa. Dituliskan dalam salah satu media online, wartawan itu dihalangi untuk meliput. 

Bahkan sependengaran wartwan dia akan di udhani (ditelanjangi). Lalu drama pun terjadi. Perangkat desa didampingi pemerintah kecamatan meminta maaf dan membuat surat pernyataan permaterai atas perlakuannya kepada salah satu wartawan Ponorogo tersebut.

Kedua, TKI yang pulang dari luar negeri. TKI yang mengisolasi diri itu mendapat perlakukan yang berlebih. Salah satu kasus yang terjadi di Ponorogo. TKI yang pulang dari luar negeri seolah terdeskriminasi dari masyarakat. 

Diasingkan baik fisik dan sosialnya. Seperti tahanan yang dikurung dalam ruangan. Tak adanya yang memberikan dukungan dalam 14 hari isolasi. Malah seperti orang gila yang benar-benar harus disingkirkan dan dihindarkan orang.

Soal pemakaman pasien meniggal pun ikut terdeskriminasi. Seperti kasus di Jawa Tengah lalu. Jenazah pasien meninggal begitu saja ditolak. Sudah berjuang mati-matian sampai mati betulan masih saja harus ditolak masuk bumi. Tak diterima meskipun telah mati. Apakah Korona itu sebuah aib?

Perlu Sosialisasi dan Dampingan Psikologi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline