Lihat ke Halaman Asli

Frengki Nur Fariya Pratama

Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Bahasa Ibu, Hanya Cerita atau Media Tutur Kata?

Diperbarui: 22 Februari 2018   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.kemdikbud.go.id

50 bahasa daerah terancam punah. Hal ini disampikan oleh kemendikbud tanggal 21 Februari 2018 kemarin. Sampel ini diperoleh dari 646 bahasa yang telah diteliti tahun 2016. Hari bahasa ibu yang diperingati setiap 21 februari menjadi satu peringatan bagi kita akan pentingnya bahasa ibu (daerah) bagi keberlangsungan identitas budaya kita. Sebenarnya, Seberapa penting bahasa daerah bagi kita?

Barang tentu semua telah paham mengenai karakter serta kekayaan hasil budaya, salah satunya bahasa daerah. Bahasa daerah ini menjadi salah satu media awal untuk menggali kekayaan suatu budaya dari suatu daerah tertentu. Karena bahasa daerah memuat karakter-karakter yang menunjukkan budaya dari penggunanya.

Satu contoh isitlah-istilah dalam pertanian. Ada ndaut, nandhur, nyulami, nderep, ngasab,matun, gropyokan, tunggu manuk, ngiles, ngasak, gepyok, nguritdan bawon.

Ada berapa yang masih terpahami artinya?

Semua istilah dari sebuah kata mengandung partikel-partikel budaya yang khas dari daerah agraris. Dari kata gropyokan. isitilah ini berasal dari kata gropyok yang berarti bersama-sama. berkaitan dengan pertanian, Kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama saat panen. Kegiatan ini khas budaya orang-orang desa yang mengutamakan nilai gotong royong yang kebanyakan berasal dari daerah pedesaan.

Ada banyak lagi bahasa daerah kita yang sekarang tak terpahami maknanya. Karena hilangnya tradisi-tradisi yang ada di masyarakat. 

Kenapa tradisi kita sendiri bisa hilang?

Coba kita tengok kembali kecintaan kita terhadap budaya lokal. Banyak sekali anak muda yang mulai meninggalkan budaya-budaya lokal. Gegap gempitanya globalisasi salah satu sebab terlupakannya identitas kita. Anak-anak kecil yang bermain enthik, delikandan jamuranpun sudah tak lagi terlihat di halaman-halaman rumah, adanya hanya anak-anak yang sibuk dengan gawainya.

Bahasa ibu yang kita daku sebagai bahasa identitas suku, lama-kelaman mengalami penurunan pengguna, beresiko pula hilangnya makna arti kata secara benar. Contoh kata bajingansekarang dipahami sebagai bahasa kasar yang tak memiliki makna. Hal ini menjadi peringatan bahwa kelakuan dan penuturan lama-kelamaan mengalami ketidak sinkronan. Akibtnya, secara tak sadar kepunahan kata itu semakin mengancam.

Kita harus berani memilih. Rela bahasa ibu kita hanya menjadi sebuah cerita atau bahasa ibu kita tetap lestari. Sebagai evaluasi setelah diperingatinya hari bahasa ibu. Sebenarnya, apa yang sudah kita lakukan untuk melestrikan bahasa ibu? atau kita hanya sekedar tahu hari peringatan bahasa ibu?

Tentu inilah tanggung jawab kita untuk melestarikan bahasa ibu kita masing-masing. Dengan tetap dilestarikan dan digaungkan bahasa ibu akan tetap terpatri dalam benak generasi penerus kita. Sehingga budaya kita pun akan tetap lestari adanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline