Lihat ke Halaman Asli

Jurnal Hati (ed 5)

Diperbarui: 25 Juni 2015   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

DUNIA

Bogor, 26 Februari 2012. 23:08 WIB

Sebuah catatan di tepi kaki langit



Dunia, melakon wadah bagi nyawa yang tak lagi melayang-layang dalam refleksi nonmaterial, namun menyesak sesak dalam konvergensi jasad yang terikat berbagai dimensi. Manusia.  Dunia mengikat erat dimensi, laiknya dimensi merantai penunggu dunia. Titik, garis, ruang, dan waktu. Tak ada makhluk dunia yang tak menyeret itu di ubun-ubunnya. Separah apapun, segigih apapun, menyeru melolong menyayat kaca-kaca pemohonan, makhluk tak juga bisa melepas belenggu dimensi. Manusia. Belenggu. Tetap tak bisa menghilangkan sepoles titik, diam konstan tak bergerak, menghilang menembus ruang atau mengutak atik putaran waktu. Manusia. Penunggu dunia. Dunia yang mengikat dimensi.

Dunia, tak terbatas. Se tak terbatas pikiran manusia tentangnya. Luas seluas nafsu manusia untuk menguasainya. Hanya manusia, karena hanya manusia yang menyulut kobaran api keinginan menguasai apapun dalam sendi-sendi otaknya. Dunia, tempat bergelung aturan-aturan baku Sang Pencipta. Aturan yang entah ditaati entah dicemoohi entah diacuhi atau bahkan entah diubah-ubah oleh, manusia. Tempat pertempuran, bau anyir pemusuhan dari dua hal yang berlawanan. Baik buruk, positif negatif, ada tidak ada, benar salah, kuat lemah, kuasa dikuasai. Muncul dari relativitas kehidupan yang bertengger pada beribu sudut pandang, yang sebenarnya tak berlawanan apabila tak dipikirkan oleh, manusia.

Ah. Dunia. Bentukan kecil dari amanah megabesar yang diembankan. Pada makhluk, manusia. Dunia bisa saja tetap ada, tetap bergerak, tetap memenuhi ruang dan tetap berjalan konsisten melewati kincir waktu. Bahkan tanpa manusia. Karena dunia mengikat dimensi.

Ah. Dunia menyimpan tanda tanya besar, mengapa manusia harus dipaksa memikul dunia?

Ah.  Aku pun manusia. Aku pun penunggu dunia. Aku pun terbelenggu. Aku pun tak bisa hilangkan titik, mendiam-konstankan sesuatu, menembus ruang dan mengutak atik waktu. Aku pun punya nafsu. Aku pun punya sudut pandang. Aku pun tak suka buruk dan suka yang baik. Aku pun punya harapan. Aku pun diamanahi. Dunia.

Maha Pintar Sang Pencipta. Dua kunci diciptakannya untuk mengatur dunia. Dua kunci yang tak bisa hilangkan titik tapi menciptakan titik-titik baru pengharapan. Dua kunci yang tak bisa mendiam-konstankan garis, tapi mengarahkan garis menjadi gurat-gurat harmonisasi. Dua kunci yang tak bisa menembus ruang tapi mengisi kosongnya dengan pelangi dan elegi kedamaian. Dua kunci yang tidak bisa mengutak-atik waktu tapi membuat ia tak berputar sia-sia meninggalkan tapak-tapak kelam di lumpur kehinaan. Dua kunci. Akal dan hati. Bersemayam kokoh siap pakai di dalam si pemegang amanah. Manusia.

Ah. Aku pun manusia. Aku pun diamanahkan. Aku pun punya dua kunci.

Betapa bangganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline