Tak ada satu tim sepakbola pun di dunia ini yang mau kalah dalam adu tendangan pinalti. Adu tendangan pinalti yang banyak pihak lebih dianggap sebagai adu keberutungan selalu saja dihindari. Tapi pagi ini, Portugal dan Spanyol tak lagi bisa menghindarinya. Dan akhirnya, Portugal harus menelan pil pahit, dengan kalah 4 - 2. Portugal pun terpaksa angkat koper, sementara Spanyol melenggang ke final keduanya dalam perhelatan Euro Cup dalam 4 tahun terakhir. Dramatis dan sungguh menyesakkan memang bagi skuad Portugal. Mampu menahan gempuran Spanyol hingga 120 menit, tapi harus kalah dalam adu tos-tosan. Sungguh diluar dugaan, karena tim Matador bermain tidak seperti biasanya. Hal ini bisa terlihat dari ball possession yang hanya berkisar 56%, sementara rata-rata sebelum pertandingan semalam adalah lebih dari 60%. Faktor kelelahan bisa diduga menjadi penyebabnya. Pasalnya Spanyol hanya mempunyai waktu istirahat 3 hari, sementara Portugal 5 hari. Memang hal itu tidak bisa dijadikan dalih utama, karena sebagai pemain profesional dituntut harus selalu menjaga performa. Namun di sebuah turnamen yang besar, sekelas Euro Cup yang begitu menguras emosi serta stamina, lamanya waktu recovery sangat mutlak untuk setiap pemain, demi performa di lapangan. Mencermati apa yang terjadi di lapangan, saya sempat kaget ketika mengetahui Vicente del Bosque menurunkan Alvaro Negredo sejak menit awal. Sungguh di luar dugaan, karena biasanya yang menjadi starter adalah Cesc Fabregas yang berubah fungsi menjadi striker, atau kalau tidak masih ada Fernando Torres yang bisa menjadi pilihan di depan. Dan memang terbukti bahwa perjudian itu tidak membuahkan hasil, bahkan cenderung terkesan sebagai kesia-siaan. Secara keseluruhan, permainan tim Matador tidak seperti biasanya. Di sektor pennjaga gawang, penampilan Iker Cassilas masih seperti biasa. Hal itu juga dikarenakan tak banyak peluang yang dihasilkan Portugal. Sementara di barisan belakang, performa apik Gerard Pique dalam mematikan Christiano Ronaldo patut mendapatkan apresiasi. Ditunjang dengan baiknya penampilan Jordi Alba serta Alvaro Arbeloa di sisi kanan maupun kiri, dalam pergerakan sayap Portugal, praktis membuat lini pertahanan Spanyol aman. Problem sebenarnya ada di lini tengah. Terlihat sekali Xavi sudah mulai lambat. Kreasinya sudah mulai berkurang, sehingga menyebabkan suplai bola agak tersendat. Hal itu juga diakibatkan oleh penjagaan yang dilakukan secara bergantian antara Miguel Veloso serta Raul Meireless dengan ketat. Akibatnya Iniesta terkesan beraksi sendiri, apalagi penampilan David Silva juga kurang memuaskan. Itulah mengapa peluang yang didapatkan Spanyol sangat sedikit dalam laga kali ini. Agak menolong ketika Pedro Rodrigues, Jesus Navas, serta Cesc Fabregas dimasukkan di pertengahan babak kedua. Sekali lagi, publik bisa melihat bagaimana kebingungan entrenador Spanyol Vicente del Bosque dalam menentukan susunan pemain, sepeninggal striker utama mereka David Villa. Bahkan meski Fernando Torres telah membukukan 2 gol, tetap saja kepercayaan untuk menjadi striker utama tak kunjung di dapatkan. Semoga saja hal ini tidak terjadi di saat partai final, karena blunder sekecil apapun akan menjadi bumerang yang harus dibayar mahal. Untuk Portugal, mereka telah bermain baik. Jadi meski kalah, mereka kalah secara terhormat. Taktik pelatih Paulo Bento kepada para pemainnya untuk menjaga para gelandang Spanyol, berhasil dengan baik. Bahkan Xavi terlihat seperti terisolir. Peran Meireless serta Veloso dalam menjaga lini tengah begitu kentara, mungkin yang menjadi sorotan adalah Joao Moutinho yang sepertinya hilang. Tak banyak kreasi yang dihasilkan oleh pemain yang diplot sebagai jenderal lapangan tengah itu. Nani pun demikian, seperti mati kutu dan kebingungan akibat ketatnya penjagaan lini belakang Spanyol. Jadi tak heran jika Christiano Ronaldo terkesan bekerja sendiri dalam membuka ruang, mengirim umpan, bahkan dalam hal memanfaatkan peluang. Peran Hugo Almeida di depan hampir sama dengan Negredo di lini depan Spanyol, terkesan mubazir. Bahkan saat Varela dimasukkan pun, tak ada perubahan yang berarti. Kredit poin tersendiri saya tujukan kepada lini belakang Portugal, terutama pada Pepe, Bruno Alves, serta Fabio Contrerao yang begitu disiplin menjaga setiap jengkal daerah pertahanannya. Khusus buat Pepe, penampilannya kali ini jauh kontras jika dibandingkan saat memperkuat El Real yang kadang bermain ceroboh dan kasar. Apapun yang terjadi di lapangan, Spanyol telah menjejakkan kakinya sekali lagi di final. Final ke 3 dalam 4 tahun terakhir dalam event besar, dan dalam 2 final terdahulu mereka menjadi kampiun. Sebuah hal yang mungkin sulit terulang di masa mendatang. Suatu pencapaian yang tidak mugkin terjadi secara instan, seperti membalik telapak tangan. Semua pasti tahu, bahwa sebelum merengkuh jawara Eropa 4 tahun lalu, Spanyol masih dianggap sebagai tim yang biasa-biasa saja. Tim yang sekedar disebut sebagai kuda hitam, meski liga dalam negerinya menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Sepertinya publik Matador harus berterima kasih pada Real Madrid serta Barcelona, karena dari 2 klub terbesar di Spanyol inilah kerangka tim nasional sebagian besar berasal. Khusus bagi Barcelona, bukan hanya sekedar menyumbangkan pemainnya, namun filosofi sepakbola yang tertanam di klub asal Catalan itu juga menjadi roh permaianan La Furia Roja saat ini. Strategi tiki taka, yang berpadu dengan penguasaan bola nan mumpuni, menghasilkan sebuah bentuk permainan indah. Sebuah hal yang sempat hilang, sejak jogo bonito diperlihatkan tim Samba Brasil. Untuk ukuran Eropa, pemain-pemain yang dimiliki La Furia Roja memang cenderung lebih pendek. Namun semua tertutupi oleh kemampuan skill individu mereka, kecerdasan, serta kekompakan tim yang menjadikan itu sebagai sebuah senjata ampuh. Bahkan itu juga terwujud dalam bagaimana kuatnya klub dari ranah Spanyol dalam kompetisi Eropa. Inilah hasil yang sepadan setelah kerja keras dari federasi sepakbola Spanyol dalam memajukan tim nasionalnya. Kerja keras yang merupakan sinergi dari banyak faktor, sehingga menghasilkan tim nasional yang kuat, terutama dalam soal pembinaan pemain muda, seperti yang banyak dilakukan klub-klub La Liga terutama FC Barcelona. Entah sampai kapan Spanyol akan merajai sepakbola dunia, karena generasi emas mereka terbukti masih bersinar hingga saat ini. Mungkin hanya beberapa pemain yang perlu segera dicarikan pengganti, seperti Xavi Hernandes yang mulai dimakan usia. Yang jelas, saat ini mereka sedang meretas sebuah sejarah. Sejarah yang bukan hanya untuk mereka sendiri, melainkan sebagai sebuah pembuktian bukan hanya pada kawasan Eropa, namun juga kepada publik sepakbola dunia, bahwa mereka mampu menjadi tim pertama yang bisa mempertahankan kampiun juara Eropa. So, mari kita tunggu...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H