Lihat ke Halaman Asli

Maneges Gunung di Ibu Kota

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MG1

Manegesberasal dari kata dasarteges.Teges berarti makna danteges bermakna arti.Maneges dapat diartikan menggali makna dari sesuatu dengan melakukan refleksi diri. Dengan demikianmanegesgunungdapat diartikan menggali makna segala sesuatu yang berkaitan dengan gunung, apakah berkaitan dengan bentang alamnya, kesuburan tanahnya, kelimpahan sumber airnya, kelebatan hutan rimba rayanya, manusia di sekitarnya, bahkan termasuk masyarakat dan budayanya.

Dalam rentang waktu seminggu ini tengah berlangsung Pagelaran Maneges Gunung yang menampilkan berbagai aktivitas berkesenian yang dilakukan oleh Komunitas Lima Gunung yang berasal dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah di Bentara Budaya Jakarta. Rangkaian acara yang berisi pameran berbagai karya seni, pertunjukan tari, pentas wayang orang, pagelaran wayang kulit, juga diisi dengan diskusi budaya yang mengangkat tema Maneges Gunung. Diskusi tersebut berlangsung pada Rabu siang pukul 14.00-17.00 di ruang pameran Bentara Budaya, kawasan Palmerah, Jakarta Selatan.

Acara diskusi budaya yang menghadirkan para penggerak Komunitas Lima Gunung, mulai dari Sutanto Mendut (Studio Mendut), Sitras Anjilin (Padepokan Tjipto Budoyo, Tutup Ngisor Kec. Dukun, Gn. Merapi), Supadi Haryanto (Sanggar Andong Jinawi, Mantran Wetan Kec. Ngablak, Gn. Andong), Pangadi (Sanggar Wonoseni, Wonolelo Kec. Bandongan, Gn. Sumbing), Jono (Sanggar Saujana, Keron Kec. Sawangan, Gn. Merbabu), Riyadi (Padepokan Wargo Budoyo, Gejayan Kec. Pakis, Gn.Merbabu), dan dimoderatori oleh Bre Redana dari Desk Budaya Harian Kompas.

Bre & Tanto

Dalam prolognya, Bre Redana sengaja mengungkap berbagai aspek perkembangan komunitas akar rumput sebagaimana Komunitas Lima Gunung. Sebagai sebuah kolaborasi berbagai paguyuban dan kelompok seni di empat keblat lima pancernya dataran tinggi Magelang, Komunitas Lima Gunung memiliki keistimewaan yang sangat luar biasa. Di tengah terpaan godaan jaman yang serba meterialisme saat ini, ternyata masih ada sekelompok seniman yang terhimpun menjadi satu komunitas yang solid dan kompak tanpa terjerumus kepada sikap komersialisasi sesaat.

Nilai penting yang tetap dipegang erat oleh Komunitas Lima Gunung adalah soal independensi dan kemerdekaan dalam berkarya. Karya-karya mereka selalu tampil original penuh kedalaman makna dan cita rasa. Mereka bergerak penuh kemandirian dengan bekal kebersamaan dan kegotongroyongan. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan mainstream yang tengah melanda sebagian besar belahan dunia, termasuk di kalangan seniman sendiri.

Berbeda dengan kebanyakan kelompok masyarakat yang memilih posisi untuk mengkomsumsi, mereka justru mengambil posisi sebagai kelompok kreatif yang produktif. Konsumerisme, pelan namun pasti, akan menghancurkan nilai seni, budaya, bahkan peradaban yang menghantarkan menusia ke lembah kehancuran. Konsumerisme cenderung akan senantiasa mengambil atau mengeksploitasi segala sumber daya yang ada untuk kepentingan diri sendiri atau sekelompok orang. Di sisi lain, aktivitas aktif, kreatif dan produktif justru memiliki kecenderungan untuk selalu berbagi dan memberi. Betapa kedua hal tersebut menjadi dua sisi yang seolah saling bertentangan.

Dalam kesempatan selanjutnya masing-masing ketua kelompok seni di wilayah lima gunung tersebut memaparkan latar belakang dan seluk-beluk proses kreatif yang mereka geluti dan keterlibatannya dalam mendukung eksistensi Komunitas Lima Gunung. Diawali dengan penuturan Sitras Anjilin yang berbicara panjang lebar mengenai sejarah padepokannya, nilai dan tradisi yang dibangun untuk senantiasa dekat dan menjaga alam, hingga kepada mitos-mitos serta pantangan yang diwariskan leluhurnya.

MG2

MG3

Supadi dari Gunung Andong yang kebetulan bertindak sebagai koordinator penyelenggara Festival Lima Gunung lebih menekankan mengenai managemen atau pengorganisasian, kemandirian komunitas yang menolak sponsorsip, tidak mau membuat proposal permohonan dana, serta bagaimana mendorong sikap kebersamaan, kerukuan dan kegotong-royongan, bahkan sempat terkonsep adanya "sumpah tanah".Sumpah tanahdimaksud mengandung arti bahwa mereka menolak meminta donatur atau dana dan lebih mengutamakan kemandirian demi menjaga independensi dalam berkreasi. Namun demikian jika ada pihak yang ingin berpartisipasi mengulurkan bantuan, pihaknya tidak akan menolak. Tetapi tidak pernah meminta!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline