Musim hujan memang sudah menjadi dambaan semua orang. Bagaimana panasnya musim kemarau yang sangat berkepanjangan telah menjadikan banyak sumber mata air mengering, air sungai surut, bahkan sumur warga tidak lagi mengeluarkan air yang menjadi kebutuhan sangat vital bagi setiap manusia. Tidak terhenti di sana, kekeringan menjadikan budidaya pertanian juga terhambat. Ketiadaan air menimbulkan lahan menjadi sangat kering dan kehilangan kesuburannya. Tanaman yang banyak membutuhkan air untuk pertumbuhannya, atau bahkan hanya sekedar membutuhkan lahan kering dengan kandungan air yang cukup, menjadi kering kerontang dan mati kekeringan. Padi puso, sayuran gagal tanam, palawijapun banyak yang mati. Musim kemarau berkepanjangan menyebabkan terjadinya tanaman puso dan gagal panen. Jelas para petani mengalami kesulitan hidup yang sangat berat.
Kini setelah sekian lama sangat terlambat datangnya, hujan menyambangi bumi setiap hari, bahkan hampir setiap saat. Meskipun bulan baru beranjang di November, sudah terjadi hujan sehari-hari layaknya di bulan Januari. Desember sebagai “gedhe-gedhene sumber” tentu akan lebih besar lagi.
Sesuatu yang dibutuhkan manusia sebenarnya selalu memiliki batasan atau ukuran yang pas dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan. Manusia akan mengalami gangguan aktivitas apabila kebutuhan tersebut kurang ketersediaannya maupun jika ketersediaannya terlalu berlebihan. Demikian halnya dengan air. Air dalam jumlah yang kurang akan menimbulkan kekeringan, termasuk gangguan pengelolaan lahan pertanian kita. Namun jika air berlebihan, curah hujan berlebihan, maka yang akan terjadi adalah saluran maupun tempat tampungan air akan mengalami kelebihan kapasitas. Sungai akan meluap, danau meluap. Terlebih jika saluran atau tampungan tersebut sudah dipenuhi dengan timbunan sampah sebagaimana banyak terjadi di sekitar lingkungan kita saat ini. Maka air yang melimpah bukan lagi menjadi berkah, tetapi justru menjadi musibah.
Kita semua tentu sempat medengar kabar berita dari tanah Betawi di Ibu Kota negeri tercinta. Setiap puncak musim penghujan datang, Jakarta selalu harus bersiaga siang malam dengan kemungkinan terjadinya banjir kiriman. Jakarta memang tidak memiliki daerah mata air. Jakarta berada di posisi hilir yang menjadi jalan aliran air menuju muara laut. Justru letak Jakarta yang di tepian pantai inilah yang secara alamiah menimbulkan potensi terjadinya genangan dan banjir di Jakarta akan selalu ada. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan sikap masyarakat Ibu Kota yang tidak ramah dengan lingkungan sungai. Sampah-sampah dibuang sempabarangan ke saluran air, got dan sungai-sungai. Sungai menjadi tercemar dan tersumbat oleh sampah. Maka tidak mengherankan jika banjir menjadi tamu langganan yang datang di musim penghujan.
Berbeda dengan Jakarta, wilayah Kabupaten Magelang terdiri dari daerah pegunungan dan dataran tinggi. Dengan alur-alur sungai yang mengalirkan air dari berbagai puncak gunung yang ada dan mengingat kemiringan kontur tanah, sebenarnya daerah Magelang adalah wilayah yang bebas dari genangan banjir. Kelebihan curah hujan yang terlalu ekstrim justru lebih berpotensi menimbulkan kejadian tanah longsor maupun erosi bantaran sungai. Khusus untuk wilayah tepian sungai di lereng gunung Merapi pasca kejadian erupsi dahsyat dua tahun yang lalu, datangnya musim harus diwaspai dengan kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin.
Sebagaimana kita ketahui, erupsi gunung Merapi di akhir tahun 2010 telah benyak mengeluarkan timbunan lava yang sangat besar di kubah puncak Merapi. Dalam keadaan lava masih panas membara, bahaya primer Merapi adalah awan panas yang bersuhu sangat tinggi, sangat beracun, dan sangat mematikan. Setelah proses pendinginan, ancaman bahaya berubah menjadi potensi terjadinya longsoran timbunan lava dingin yang siap meluncur ke bawah menjadi banjir lahan dingin. Maka dengan datangnya musim penghujan, masyarakat di tepian sungai utama yang bermuara di puncak Merapi harus waspada dan siaga dengan datangnya banjir lahar dingin.
Dua tahun yang lalu, kita semua tentu masih sangat ingat ketika terjadi banjir lahar dingin di beberapa sungai, seperti Kali Putih, Kali Senowo/Pabelan, termasuk Kali Krasak. Khusus di wilayah Magelang, Kali Putih dan Pabelan pernah mengalami banjir bandhang yang sangat dahsyat sehingga sempat membobolkan beberapa jembatan penghubung dan menerjang jalur utama Jogja-Semarang di dusun Gempol, Kecamatan Salam.
Siapa pernah mengira Kali Putih akan meluap menerjang jalan raya serta menghanyutkan puluhan rumah di tepian kanan kirinya. Pertemuan Kali Putih dan Kali Druju yang berkelok sebelum bertemu jalan raya itu tidak mampu menghentikan laju aliran lahar dingin yang sangat cepat. Air menerjang lurus dengan menghantam beberapa rumah untuk mendapatkan alur aliran yang lurus. Air menunjukkan kekuatan dahsyatnya. Air tak mau dibelokkan, air tak mau ditanggul, dan akhirnya air tak mau dihalang-halangi. Air hanyalah menjalankan perintah alam untuk berjalan dan mengalir menjalani alur yang paling mudah serta ringan hambatannya. Akhirnya lahar dingin tersebut benar-benar mampu memutuskan jalan utama yang dibangun manusia. Manusiapun kemudian dengan rekayasa teknologi harus membangun dua lajur jembatan baru sebagai sebuah sodetan Kali Putih, tepat di ruas dusun Gempol yang masih menyisakan duka mendalam.
Tidak puas memporak-porandakan dusun Gempol, banjir lahar dingin terus menyerbu beberapa pedusunan di bagian bahwanya. Kerusakan terparah terjadi di dusun kanan kiri Kali Putih yang termasuk wilayah Desa Seloboro dan Sirahan. Tidak hanya sawah ladang, bahkan rumah dan tanah pekarangan hingga tanah makam hancur lebur diterjang dahsyatnya arus banjir lahar dingin. Kerugian material menyisakan derita bagi korban yang umumnya juga orang kecil dan hingga kini masih tinggal di penampungan dan belum mendapatkan penyelesaian masalah yang tuntas.