Lihat ke Halaman Asli

Jokowi Bermain Api

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nah kan, ternyata masalah justru semakin menjadi-jadi dan cenderung semakin sulit dikendalikan. Tambah runyam dan ruwet. Perkara yang semula relatif kecil dan bisa dikendalikan mudah bergulir liar semakin tak terkonrol. Ibarat orang Jawa mengatakan, "kriwikan telah menjadi grojokan". Air limpahan dari atap rumah akibat hujan gerimis telah berubah menjadi air terjun niagara.

Lelakon ini berawal pada saat Presiden ingin mengganti posisi Kapolri yang masa pensiunnya masih sekian lama. Kontroversi mulai berkecambah tatkala hanya diusulkan calon tunggal yang ditengarai pada masa penjaringan nama calon pejabat negara, tokoh tersebut justru telah distabilo alias bermasalah dengan rekening gendut.

Pada saat Presiden benar-benar melayangkan satu nama tersebut untuk menjalani fit and proper test di hadapan para wakil rakyat, ndilalah melayang pula penetapan tersangka terhadap yang bersangkutan yang diterbitkan oleh KPK. Publik langsung mengendus ada dorongan-dorongan kepentingan politik yang bermain di balik usulan pencalonan Kapolri.

Beberapa pendukung fanatik Presiden sempat menyampaikan sanjungan atas kelihaiannya dalam memainkan peranan politik untuk melepaskan diri dari tekanan lingkaran partai-partai pendukungnya. Jokowi bermain cantik dengan nabok nyilih tangan. Ia sengaja meminjam kewenangan KPK untuk menolak pencalonan nama Kapolri yang didesakkan partai-partai yang digawangi si ibu suri. Pendukung tersebut berasumsi, pengajuan nama sekaligus proses fit and proper test di DPR akan dianulir oleh Presiden. Namun rupanya, tindakan Jokowi ternyata tetap tidak berubah haluan dengan tetap meneruskan proses pencalonan di DPR. Mungkin ia berasumsi DPR akan menolak calon tersebut.

Kemudian proses fit and proper test berlangsung. Publik tentu saja memiliki pengharapan para wakil rakyat berpikir jernih dan pro terhadap gerakan anti korupsi dengan tidak meloloskan nama calon Kapolri yang berstatus tersangka. Namun harapan itupun ternyata juga hanya sebuah isapan jempol karena terbukti pencalonan yang bersangkutan ternyata juga disetujui oleh DPR. Bola dikembalikan kepada Presiden untuk segera melantik BG.

Presiden jelas bimbang dan ragu. Ia kemudian membentuk Tim Tujuh yang kemudian genap menjadi Tim Sembilan. Tim yang dibentuk setengah hati tanpa Kepres tersebut diharapkan bisa memberikan masukan dan pertimbangan mengenai disharmonisasi hubungan Polri-KPP yang kemudian terus berkembang. Bahkan perseteruan itu bertambah runyam tatkala Polri menjadikan Bambang Wijayanto, salah seorang pimpinan KPK, menjadi tersangka kasus masa lalu, bahkan menangkap paksa di jalan raya. Aksi itu berlanjut dengan pelaporan-pelaporan terhadap pimpinan KPK yang tersisa dengan berbagai kasus ke Polri.

Di saat bersamaan, BG mengajukan gugatan praperadilan terhadap proses penetapan dirinya menjadi tersangka. Presiden kembali menunggu. Ia berkilah akan mengambil keputusan setelah perkara praperadilan tersebut diputuskan. Ia tentu masih berharap, pengadilan akan mementahkan tuntutan BG sehingga dengan kebulatan tekad ia dapat membatalkan pencalonan BG dan mengajukan ulang nama calon yang lain.

Adalah keputusan hakim praperadilan soal penetapan tersangka terhadap BG oleh KPK yang akhirnya secara awam dapat dipahami sebagai pengabulan tuntutan calon Kapolri yang penuh kontroversial ini. Beberapa hari persidangan berlangsung, para pengamat dan pakar hukum yang mencermati jalan persidangan, termasuk keterangan-keterangan para saksi ahli, meyakini bahwa hakim akan berpihak terhadap KPK. Namun kembali harapan tinggal sebuah harapan, karena fakta telah berbicara.

Terlepas dari upaya peninjauan kembali yang dapat saja diajukan KPK, kini bola panas kembali ke pangkuan Presiden. Ia kian tersudut dalam mengambil keputusan. Mungkin semestinya persoalan tidak akan berlarut-larut seandainya sedari awal ia tegas tidak mau diintervensi kekuatan lain dan berani tegas mengambil keputusan dengan berpihak kepada nurani atau common sense rakyat. Dengan ketidaktegasan pilihan Presiden, sebenarnya ia tengah memantikkan api. Berharap ia akan dapat bermain cantik dalam suatu dramatisasi yang mencitrakan ia menuruti kehendak partai pendukungnya, ternyata pihak lain yang diharapkannya dapat memadamkan api itu justru satu-satu menyiramkan bensin. Akhirnya yang terjadi adalah api yang semakin besar dan tidak terkendali. Sampai kapan persoalan ini akan tuntas? Biarlah waktu yang akan bicara.

Ngisor Blimbing, 16 Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline