Lihat ke Halaman Asli

Pidato Kebudayaan Gubernur Jateng

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (foto: tempo.co)"][/caption]

Pidato kebudayaan di Jakarta dilaksanakan sebagai agenda rutin Dewan Kesenian Jakarta semenjak 1989. Tahun lalu, tepatnya 11 November 2013, pidato ini dilakukan Karlina Supelli. Membawakan pidato dengan judul Kebudayaan dan Kegagapan Kita, filosof dan pengajar di STF Driyarkara itu setidaknya menyoroti perilaku masyarakat modern yang cenderung kurang berpikir serius, konsumerisme, dan kurang punya komitmen. Dia lantas menawarkan “8 Pokok Siasat Kebudayaan”.

Hal yang sama dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Senin (6/1), di Wisma Perdamaian, Semarang. Di hadapan ratusan orang yang terdiri atas tokoh masyarakat, birokrat, hingga pemuka agama dan penghayat kepercayaan se-Jateng, Ganjar membacakan―yang juga ia sebut sebagai―pidato kebudayaan.

Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR dari PDIP ini membuka pidato dengan memaparkan keadaan sosial masyarakat Jateng secara umum: masih banyaknya kemiskinan dan pengangguran, hingga realitas Jateng yang belum mampu mandiri dalam hal ketersediaan pangan. Pemda, menurutnya, senantiasa menekan semua itu guna mewujudkan Jateng yang Berdikari―sebuah konsep kemandirian bangsa yang selalu diusung Sukarno.

Pidato Ganjar menjadi aktual ketika ia menyinggung harga elpiji yang dinaikkan secara tiba-tiba oleh pemerintah pusat per 1 Januari lalu. Menurutnya, harus ada upaya strategis supaya masyarakat tidak selalu bergantung pada pemerintah. Misalnya, dia mengklaim beberapa desa di Jateng telah memanfaatkan kotoran sapi untuk produksi biogas yang bisa digunakan untuk lampu penerangan. Hal itu, menurutnya, harus senantiasa didorong sebagai salah satu peranti kemandirian energi.

Yang kemudian menarik, ia bercerita soal kearifan tradisi tedhak siten. Dalam budaya Jawa, tradisi ini jamak dilakukan supaya anak yang berumur sekitar tujuh bulan belajar berjalan. Dia  mengibaratkan pemerintah yang ia pimpin tak ubahnya anak itu: seorang “anak” yang sedang belajar dan mengenal sekitar.

Guna memperkuat analoginya, Ganjar mencoba mengkontruksi pemahaman masyarakat yang selama ini memili pola pikir bahwa pembangunan ada di tangan pemerintah. Yang benar, menurutnya, “Yang membangun adalah masyarakat”. Pemerintah “cuma” ngancani (menemani) dan mengarahkan kebijakan yang sesuai dengan arah pembangunan itu. Tak hanya itu, pemerintah juga harus peka dan terbuka terhadap masukan dan kritik masyarakat.

Pada titik inilah, ia menekankan pentingnya wiwitan atau awalan dalam berbagai hal. Wiwitan menjadi penentu berhasil atau tidaknya sebuah tujuan. Misalnya, pembangunan infrastruktur harus diwiwiti dengan perencanaan yang matang. Setelah itu, pengerjaan harus pula konsisten, dibarengi dengan pengawalan oleh segenap pihak. Semua itu bertujuan agar pembangunan yang telah diwiwiti dan disepakati bersama dapat selesai sesuai rencana. Wiwitan, menurut Ganjar, juga menjadi hal penting dalam budaya Jawa, karena dalam pembangunan, manusia tidak cuma harus siap secara fisik, tapi juga batin.

Ganjar boleh jadi cuma terhegemoni: melakukan pidato kebudayaan seperti halnya dilakukan oleh Jakarta―yang kebetulan dipimpin oleh rekan satu partai, Jokowi―sapaan Joko Widodo. Namun, terlepas dari itu, sebuah pidato oleh seorang pemimpin selalu menyisakan tanya: kapan konsep-konsep untuk mewujudkan masyarakat ideal itu akan terealisasi? Jangan sampai masyarakat makin jengah dengan banyak ceramah yang selalu memberi harapan-harapan palsu.

Terlebih, menggunakan budaya sebagai komoditas dan sekadar hegemoni sesaat bukanlah cara yang tepat. Hal itu karena, menurut Jokowi, berkebudayaan adalah bagaimana memperlakukan diri sendiri, orang lain, dan masyarakat (merdeka.com, 12/11/2013).

Dan, pada akhirnya masyarakat menilai kinerja. Semakin tahu banyak janji dan orasi tak terealisasi, semakin apatis dan nyinyirlah mereka terhadap pemerintah. Masyarakat tak bakal kenyang dengan orasi-orasi retoris dan janji manis. Keadaan pun tak bakal berubah hanya karena pidato dan ceramah.

Dhoni Zustiyantoro




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline