[caption id="attachment_317157" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu adegan dalam "][/caption] Sepasang muda-mudi itu memadu kasih di sebuah bangku yang berada di tempat yang sebenarnya tak sepi. Mereka tak acuh pada orang-orang di sekeliling. Di sekitar mereka duduk, ada seorang gelandangan, penyabung ayam, dan pengamen. Tak berselang lama, datanglah seorang wanita menawarkan dagangan. Ketika penyabung ayam menanyakan apa yang dijualnya, wanita itu menjawab, “Wah, komplit, apa-apa takdol kok, Mas. Kejaba kapribaden. Harga diri!―wah, komplit, apa saja kujual kok, Mas. Kecuali kepribadian. Harga diri!” Penyabung ayam tak setuju dengan harga diri yang harus dipertahankan. Di zaman sekarang, menurutnya, kalau ingin bertahan hidup, harus berusaha dengan cara apa pun. Ia, misalnya, menolak jika disebut mencari rezeki dengan menyabung ayam sebagai hal yang melanggar hukum. “Aku ora adu pitik, nanging adu nasib!―aku tidak mengadu ayam, tapi mengadu nasib!” kilahnya. Sesekali, gelandangan yang tak jauh dari riuh perbincangan itu menertawakan apa yang didengarnya. Dan, tawa itu lebih terasa sebagai sebuah kritik pada realitas: keadaan, harapan, hingga tindakan yang kini acap tak sesuai dengan apa-apa yang telah diucapkan. Drama berjudul Tarung itu dibawakan oleh SMAN 1 Wonosari Klaten, ketika mengikuti Festival Drama Berbahasa Jawa Se-Jawa Tengah, Minggu (19/1), di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (FBS Unnes). Menjadi penampil pertama, mereka unjuk kebolehan dengan maksimal. Tarung meraih juara harapan II dalam kesempatan ini. Juara I didapat SMA 7 Surakarta dengan lakonSadumuk Bathuk Sanyari Bumi, juara II SMAN 1 Karanganyar Kebumen (Kamit), juara III oleh SMAN 1 Karangtengah Demak (Omah Warisan). Sedangkan harapan I SMAN Klirong Kebumen (Ampak-ampak Negara Carangan), harapan III MA Salafiyah (Prasetya ing Wayah Surup). Drama yang ditampilkan pada siang hingga malam itu menampilkan hal yang sebenarnya punya benang merah: mengangkat berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu ternyata mampu menyuguhkan paradoks serta tafsir lain yang memungkinkan penonton memiliki pemaknaan baru terhadap realitas. Tafsir ini pula yang boleh jadi tak pernah habis digali oleh para sutradara untuk disuguhkan di atas panggung drama. SMA 7 Surakarta yang selalu menjadi jawara festival yang diselenggarakan Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes ini semenjak 4 tahun lalu, mengangkat sebuah tema yang tak kalah menarik. Penggarapan tokoh dan cerita, berpadu dengan setting dan iringan yang apik membuat Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi menjadikan penonton tak ingin beranjak. Pementasan drama dari sekolah ini dari tahun ke tahun banyak dinanti oleh para pemerhati drama dan teater karena, sang sutradara, Didik Panji, selalu menyuguhkan cerita yang kuat. Mengambil latar penceritaan di pedesaan, mereka bermain detail. Hal yang ditampilkan pun sebenarnya sangat sederhana, yakni sengketa lahan pekarangan antara Karto dan Sarmun. Sarmun merasa Karto telah bertahun-tahun mengambil hak tanah warisan dari bapaknya. Ia telah membikin melenceng batas pekarangan itu, sehingga pekarangan yang ia miliki semakin sempit. Suatu hari, Sarmun tanpa berembuk terlebih dahulu dengan Karto, langsung meluruskan batas pekarangan itu. Walhasil, Karto yang ketika itu hendak mencangkul, kaget. Ia menanyakan ihwal tanahnya yang makin sempit itu kepada Sarmun. Dan benar, Sarmun membela diri dengan menjelaskan bahwa semenjak ayahnya masih hidup, batas tanah itu sebenarnya lurus, bukan melenceng. Sarmun menuding Karto yang membikin batas itu melenceng dari muasalnya. Sama-sama tak terima, mereka pun bertengkar dan sama-sama mati. Sesaat sebelum bertarung, Karto berucap, “Sadumuk bathuk sanyari bumi. Lemah warisan iki bakal daklabuhi nganti tekaning pati!―satu sentuhan kening satu jari luasnya bumi. Tanah warisan ini akan kupertahankan sampai mati!” Mereka sama-sama membela apa yang telah diyakini sebagai kebenaran, hingga mati. Mbah Wongso, seorang sepuh yang serba tahu di kampung itu menjelaskan banyak hal tentang kematian mereka. Ia sengaja mengubur Sarmun dan Karto bersebelahan dengan harapan supaya di alam lain, mereka bisa akur. Namun ternyata tidak. Sarmun dan Karto klambrangan dan saling kejar. Penonton pun punya tafsir atas semboyan klasik itu. Apakah penerapan pitutur harus seperti ditunjukkan dalam adegan yang, sebenarnya, kata Mbah Wongso, digunakan para pejuang zaman penjajahan untuk membangkitkan semangat juang. “Yen tetep ora bisa ngrampungi, jaluk tulung marang wong liya―kalau tetap tak bisa menyelesaikan masalah, minta tolonglah kepada orang lain,” kata Mbah Wongso. (unnes.ac.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H