[sambungan dari "Siluman Cantik Mencari Tuan"]
KLI.... Belum sempurna kupencet tombol Enter, sebatang tangan telah mencengkeram. Oh, tidak. Dia bukan mencengkeram. Dia meremas jari-jari tanganku. Oh my God. Dadaku terguncang. Siapa dia, berani-beraninya menghalangiku terbang?
“Tetaplah di sini, Cantik. Inilah taman surga bagi semua perantau, termasuk yang manis seperti dirimu,” bujuk-rayu seorang pria di belakangku.
Aku pun menoleh. “Siapakah Anda?”
“Akulah Tuanmu yang sesungguhnya. Aku Tuan Kompasiana,” jawabnya.
Ah, diakah tuan impian? Tuan sejati, tuan siluman? Bagai rembulan, di malam purnama?
KLIK. Kubaca profilnya perlahan-lahan:
Bulan bulat dalam telanjang yang sempurna Beragam imajinasi membangun sosok ke dalamnya Dari dongengan bocah tentang ibu, tentang nenek, tentang peri Hingga kisah cinta yang tertaut, merayu dalam bayang rembulan
Saksikanlah, bulan sedemikian cantiknya, mengisap jutaan pengembara untuk mengelilinginya Rasakanlah, bulan demikian perkasanya, meliukkan segenap tubuhnya dengan irama semesta
Wow! Gagah perkasa dan juga cantik jelita. Amboi... darah mudaku mengalir kencang. Betapa menggairahkan!
Ya, kuakui, Tuan Kompasiana ini penuh pesona dan seksi sekali. Sempurna sebagai bintang masa kini. Layak menjadi selebriti yang selalu bersinar di drama televisi.
Tapi aku bukan bocah yang mendongeng tentang rembulan. Aku adalah siluman. KLIK.
“Saya mencari tuan. Tuan siluman pula. Yang menyinari saya di gelap layar. Andakah yang saya cari selama ini, Tuan Kompasiana?”