Lihat ke Halaman Asli

Petualangan Melintasi Tapal Batas

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu (kebetulan libur), dengan sangat berat hati, saya terpaksa pulang ke Indonesia (Nunukan) melalui jalur tidak resmi karena urusan genting. Penulis menempuh jalan itu karena visa multi entry yang diurus oleh Humana, lembaga tempat penulis bekerja, belum juga kelar (hingga sekarang).

Jika kembali ke Indonesia dengan jalur resmi dalam kondisi visa multi entry belum jadi, maka urusan visa saya akan makin ruwet. Saya harus mengurus dari awal visa single entry ke Jakarta untuk mendapatkan multi entry tersebut, dan itu tidak cepat. Urusan ijin tinggal di negara tetangga rupanya tidak mudah.

Sementara, ada sebuah kebutuhan mendesak di depan mata mengharuskan saya harus berurusan ke Tanah Air, walau pengurusannya cukup saja saya ke Nunukan. Maka, saya pun memutuskan mencari cara untuk melintasi jalur tidak resmi yang biasa ditempuh oleh para pekerja kita di ladang sawit Malaysia.

Kebetulan, tanpa disengaja, penulis dipertemukan dengan seorang "pengurus" yang selalu bisa menjamin keamanan dan keselamatan para pekerja sawit untuk menyeberangi perbatasan Malaysia-Indonesia.

Awalnya, saya masih ragu dengan pengurus itu, yang juga orang Indonesia. Namun karena kawan di ladang (pekerja) dan tetangga rumah meyakinkan saya itu aman dan terjamin, saya pun setuju untuk menempuh jalur yang dijamin oleh pengurus tersebut.

Dari hasil negosiasai saya dengan pengurus, saya diminta membayar 200 ringgit (setara Rp 600 ribu) untuk ongkos jasa penyeberangan pergi-pulang. Ongkos itu setengah lebih murah dari biasanya. Kata pengurus, harga murah itu saya dikenakan karena saya sudah berkenal baik dengan orang tetangga rumah saya yang disebutnya sebagai keluarga sekampung di Bone, Makassar.

Hari esoknya, saya pun diantar ke Tawau, salah satu kota terbesar di Sabah, Malaysia, yang jadi area perbatasan Malaysia-Indonesia. Dalam perjalanan dari ladang, daerah Sandakan, ke Tawau, hati saya bertanya-tanya, seperti apa nantinya jalur tidak resmi yang akan saya lalui di perbatasan Tawau-Nunukan. Pastinya sedikit menegangkan.

Sebelumnya, saya sudah mendapatkan informasi jika penyeberangan tidak resmi ke perbatasan harus melintasi "Sungai Nyamuk," daerah sebatik yang sebagian wilayahnya milik Malaysia. Lalu dari Sebatik, menyeberang lagi ke Nunukan.

Begitu sampai di Kota Tawau, saya langsung dibawa ke area pesisir kota, tempat penyeberangan, yang dari situ juga tidak jauh dermaga penyeberangan resmi Tawau-Nunukan. Dari area penyeberangan itu, rupanya pulau Sungai Nyamuk kelihatan jelas. Saya seperti berada di kampung halaman, Pulau Buton, Kota Bau-bau yang berhadapan dengan Puma (Pulau Makassar).

Di sekitar tempat penyeberangan, nampak puluhan orang sedang menunggu jemputan. Mereka adalah orang-orang Indonesia seperti saya yang juga ingin pulang ke Indonesia. Namun, ada juga yang sedang menunggu kedatangan keluarganya. Suasananya begitu ramai. Tetapi tak ada juga polisi diraja Malaysia yang mencoba melakukan sweeping dokumen. Padahal, area itu sudah jelas digunakan untuk penyeberangan tidak resmi.

Karena suasananya terik, sambil menunggu jemputan speedboat, saya berehat di sebuah restoran sederhana, minim jus apel bersama sopir pengurus. Dari restoran itu, nampak juga perahu-perahu kayu maupun kapal fiber berlabuh di sekitar pantai. Kebetulan, restoran yang saya tempati tidak jauh dari area penantian para calon penumpang speedboat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline