Lihat ke Halaman Asli

Wajah Buram Kehidupan di Ladang

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa prihatin kita terhadap kondisi para pekerja kita di Malaysia sepertinya tak ada habisnya bila menyaksikan langsung kehidupan mereka disana, khususnya para pekerja yang berada di kompleks-kompleks perkebunan sawit, negara bagian Sabah, Malaysia. Hidup mereka betul-betul susah, keras dan terisolir.

Untuk sekedar hidup saja di ladang tanpa harus bekerja, rasanya penuh perjuangan. Para pekerja sawit umumnya tinggal dan hidup persis di tengah-tengah belantara pohon sawit. Sekelilingnya, kiri-kanan, muka-belakang yang tampak hanya pohon kelapa sawit. Letaknya pun jauh dari jalan besar (highway). Apalagi dari keramaian serta hirup pikuk kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat (Malaysia). Medan yang dilalui untuk sampai ke kompleks pekerja sawit pun bukan main susahnya, bergelombang, bergunung, dan tanpa aspal. Malah, kalau hujan deras jalannya kerap kebanjiran.

Kondisinya hampir sama di setiap ladang-ladang sawit. Yang berbeda hanya fasilitas kompleks yang disediakan oleh perusahaan masing-masing. Kalau perusahaannya kaya dan tidak pelit, biasanya fasilitas yang tersedia seperti rumah, tempat mandi, rumah sekolah, tempat penitipan anak, dan klinik, juga lumayan. Itu pun untuk rumah-rumah pekerja, tidak semua rumah batu tapi rumah-rumah panggung.

Apalagi yang perusahaannya tidak terlalu besar dan peduli, kondisi rumahnya bukan main, tidak layak huni. Dinding kayu rumahnya, misalnya, biasa sudah berlobang-lobang. Kayunya tidak tercat, hitam pekat. Atap rumahnya karatan, sementara air hujan yang diminum, dimasak dan dimandi sehari-hari ditampung dari atap tersebut. Pintu rumahnya seadanya. Ukuran rumahnya pun tak seberapa, hanya ada dua kamar tidur yang berukuran kira-kira 3x3 meter. Pokoknya memiriskan kondisinya.

Belum lagi, akses untuk keluar dari kompleks sungguh sangat susah. Sekali berada di perkampungan ladang, amat susah bepergian. Beruntung, di setiap ladang, biasa ada "tokenya", pak haji' - pemilik kedai runcit (warung) - yang memiliki kereta (mobil) untuk keluar ke Bandar (kota) atau ke daerah tertentu. Kereta pak haji itulah yang bisa ditumpangi bila para pekerja berkepentingan untuk keluar. Namun, jika tidak, harus menumpang di truk lori (tronton) yang seringkali harus naik turun, ganti lori karena jalur yang dlintasi tidak serta-merta menuju ke highway.

Kenyataannya, para pekerja betul-betul betah hanya menetap di kompleks ladang untuk bekerja. Soal kebutuhan pokok hari-hari, para ibu rumah tangga memang tidak kemana-kemana tetapi cukup membelinya di kedai-kedai pak haji atau kompeni yang ada di ladang tersebut. Sebab, untuk keluar ke Bandar, urusannya panjang dan bahkan berisiko. Para pekerja atau ibu rumah tangga yang hendak ke Bandar mesti meminta borang cuti (formulir) ke kompeni yang bisa menjamin keselamatan mereka dari tangkapan polisi. Jika tidak, mereka bisa ditangkap oleh pihak petugas keamanan diraja Malaysia.

Hal itu dimaklumi karena hampir semua para pekerja yang berada di ladang-ladang tidak memiliki visa alias tenaga kerja illegal. Hanya saja, keberadaan mereka diberikan jaminan oleh perusahaan ladang tempatnya bekerja. Sehingga selama berada di kompleks ladang sampai bertahun-tahun sekali pun, para pekerja aman dari sergapan polisi diraja Malaysia.

Namun, jika hendak bepergian ke Bandar atau ke daerah tertentu karena urusan penting, para pekerja harus meminta ijin cuti ke perusahaan dalam bentuk pemberian borang cuti untuk dikantongi sebagai jaminan yang dapat berfungsi seperti passport visa.

Jaminan itu juga tidak gratis. Meski tidak secara langsung dikatakan sebagai pajak (levy) jaminan, para pekerja mesti membayar uang antara 60 hingga 80 ringgit per bulan. Dalam bahasa kompeni, levy itu untuk pembayaran passport. Biasanya, gaji bulanan mereka dipotong untuk levy tersebut.Para pekerja pun rela gaji mereka dipotong setiap bulan asal mereka tetap bekerja menghasilkan uang hari-hari untuk hidup bersama istri dan anak-anak di ladang.

Demi makan, mereka memang rela bertahan untuk bekerja di ladang-ladang yang kondisinya begitu memprihatinkan. Apa hendak dikata, negara tempatnya dilahirkan tidak mampu menyediakan mereka lapangan pekerjaan. Sehingga mau tidak mau harus merantau ke negeri orang.

Utopia negara agraris

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline