Lihat ke Halaman Asli

Moratorium Pemilihan Langsung Pemilukada

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu esensi demokrasi adalah partisipasi politik, yakni keterlibatan rakyat dalam pemilihan pemimpin atau kepala daerah sebagai wujud kedaulatan rakyat. Karena itu pemilihan langsung dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan tapi bukan absolutisme sejarah.

Gagasan inilah yang kemudian melatari dan mengkonstruk praktik politik bangsa hari-hari ini semenjak genderang reformasi ditabu pada 13 tahun silam. Hanya saja, praktik politik itu kehilangan makna substansialnya bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Hal ini karena setiap pemilihan langsung dalam pemilukada yang digelar di setiap daerah selalu menimbulkan prahara politik berupa kekerasan politik, money politik, intrik politik, perpecahan politik, pembodohan politik,penipuan politik, penghianatan politik, penindasan politik dan seterusnya yang membuat bangsa dan negeri ini terpuruk dan tertinggal jauh dari negara-negara tetangga.

Fenomena tersebut bukan saja terjadi di beberapa daerah saja tetapi telah menasional di seluruh jagad Indonesia.Partisipasi politik rakyat yang semula diharapkan bisa melahirkan calon-calon pemimpin yang kredibel, berkapasitas, profesional, berintegritas dan bermoral melalui pemilukada akhirnya hanya pepesan kosong yang tak pernah mewujud dalam kehidupan nyata politik dan pemerintahan daerah. Setiap pemilukada rupanya hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang berduit dan miskin visi dan integritas.

Sehingga cita-cita pemekaran wilayah yang diusung di sejumlah daerah gagal alias tidak berdampak positif terhadap perbaikan serta kesejahteraan hidup rakyat dan masyarakat daerah sekitar. Buktinya banyak daerah yang sudah menjadi daerah pemekaran baru tidak mengalami perbaikan signifikan atau malah jalan di tempat. Cita-cita awal desentralisasi pun gagal di tengah jalan. Tak heran bila gugatan atas pemilukada serta pemekaran wilayah kerap didengungkan oleh sejumlah pihak.

Karena itu pula makna partisipasi politik dalam setiap pemilihan langsung pemilukada sejatinya dipertanyakan ke pemerintah khususnya pemerintah pusat demi menyelamatkan demokrasi sertamasa depan bangsa. Gugatan ini dilakukan dalam rangka mencari formula dan model demokrasi yang cocok sertaideal bagi bangsa. Bukan malah membiarkan bangsa terperosok terus dalam pembusukan politik yang kian memporak-porandakan tatanan sosial dan budaya bangsa.

Perubahan sistem politik memang sudah selayaknya dilakukan untuk menciptakan kehidupan politik yang bersih, sehat dan mensejahterakan. Sampai kapan kita harus bertahan dengan sistem politik yang terus diwarnai denganpraktik money politik, perpecahan politik dan pembodohan politik. Kita sudah hampir tidak punya alasan untuk menggelar pemilihan langsung di daerah-daerah yang identik dengan bagi-bagi uang dan huru-hara politik.

Penegakan hukum yang diharapkan bisa meminimalisir kebobrokan dan pembusukan politik tidak bisa diandalkan. Satu-satunya cara, sambil berupaya memperkuat penegakan hukum di bidang politik,adalah melakukan perubahan sistem politik.

Dalam perubahan tersebut yang harus dilakukan adalah pertama, perubahan soal mekanisme pemilihan langsung rakyat dalam pemilukada yang dirasa telah dibajak oleh kaum pemodal dan politisi pemburu rente dan kuasa. Pemilihan pemimpin di level daerah memang tidak selamanya harus melibatkanrakyat secara langsung. Apalagi untuk level kabupaten, kota dan provinsi, rakyat tidak mesti memilih bupati, walikota atau gubernurnya secara langsung.Rakyat bisa saja hanya memilih langsung anggota DPR atau presiden dan wakil presidennya.

Kepala pemerintahan di level daerah nantinya dipilih dan diangkat dengan cara lain entah melalui pemilihan di DPRD, penunjukkan oleh presiden terpilih atau ada mekanisme lain yang bisa mengefektifkan proses politik daerah serta mengurangi biaya politik bangsa (sosial dan ekonomi). Untuk itu, gagasan moratorium pemilihan langsung patut dilakukan agar mekanisme baru penentuan pemimpin di level daerah dapat dipikirkan dan dirumuskan kembali oleh para petinggi bangsa demi terwujudnya kehidupan politik yang berkualitas. Moratorium itu dilakukan juga dalam rangka mengevaluasi total pemilihan langsung di daerah yang tidak menghasilkan calon pemimpin yang bersih, amanah, kredibel dan profesional.

Kedua, perubahan kuantitas partai politik yang membuat stabilitas politik makin gaduh serta tidak stabil baik di daerah maupun di pusat. Pembatasan partai politik yang minimal dalam pemilukada perlu dilakukan dalam rangka menciptakan sistem politik yang efektif dan stabil. Hak politik mendirikan partai bukan ingin dibatasi tetapi kondisi dan pertimbangan sistem multi partai yang berlebihan ternyata makin memperburuk kehidupan politik yang ada.

Selama ini kehadiran partai politik bukan malah mewakili serta memperjuangkan kepentingan rakyat tetapi bekerja memperebutkan kekuasaan semata untuk kepentingan kelompok dan partainya. Akibatnya partisipasi partai politik dalam pemilukada, seringkali kehilangan fungsi politiknya untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Partai politik pun selalu absen melakukan pendidikan politik pada rakyat. Malah partai politik cenderung melakukan pembodohan politik dengan caramoney politik pada masyarakat.

Sejauh ini solusi ambang batas suara pada partai politik (electoral threshold) yang diperdebatkan dalam pembahasan UU pemilu dianggap belum menjawab persoalan utama partai politik. Syarat ambang batas suara sesungguhnya hanya menyasar gegap gempita pemilihan calon presiden dan anggota DPR RI. Sementara praktik politik di daerah yang selama ini banyak diwarnai kecurangan, pelanggaran, kekerasan, pembodohan serta ongkos ekonomi dan sosialnya yang mahal tidak pernah dibahas serta dicarikan solusinya.

Sementara di sisi lain, reformasi di tubuh partai politik sendiri yang diharap bisa memperbaiki kehidupan politik bangsa tidak pernah dilakukan oleh para petinggi partai. Para pemimpin partai yang duduk di DPR dan pemerintahan seolah membiarkan saja fenomena-fenomena ironis politik di daerah.

Itulah mengapa kondisi kehidupan politik bangsa bukan makin membaik tetapi memburuk seiring berjalannya rezim reformasi. Reformasi tidak akan pernah mencapai tujuan idealnya jika sistem politik yang dipakai masih saja seperti sekarang ini. Praktik korupsi yang terjadi selama ini di tubuh partai dan lembaga pemerintahan juga tidak lepas dari lemahnya sistem politik.

Sehingga tidak ada cara serta jalan lain untuk meraih perubahan revolusioner kecuali melakukan perubahan total pada sistem politik. Jika tidak bangsa ini akan terus bergumul dengan berbagai persoalan yang tidak ada ujungnya hingga negeri ini kolaps dan hancur berantakan.

Mudah-mudahan sisa waktu 2 tahun ini, rezim SBY-Boediono bisa melakukan perubahan pada sistem politik kita agar persoalan-persoalan yang terjadi pada pemulikada selama ini tidak terus berulang di negeri ini. Tetapi mungkinkah itu terjadi? Semoga saja..

Tulisan ini terinspirasi dari bobroknya praktik pemilukada di kampung halaman ,Kabupaten Buton baru-baru. Prihatin dan memilukan. Cukup sudah pemilukada kita gelar. Kenyataannya hanya melahirkan pembusukan politik di daerah-daerah dan dinasti politik. Fenomena di Kab. Buton, ayah turun dari jabatan (LM. Sjafei Kahar), anak naik ( Agus Feisal Hidayat).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline