Lihat ke Halaman Asli

SANG GURU BIMBEL

Sang Guru Management

Senandung Kematian di Bawah Hujan Kelabu

Diperbarui: 20 Oktober 2024   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input https://media.istockphoto.com/

(Dirujuk dari Kisah Nyata "Gloomy Sunday" Rezso Seress)

Malam itu, hujan rintik turun di atas kota Marleon yang redup, menyelimuti jalan-jalan dengan kilauan basah dan udara yang dingin. Di sebuah kamar kecil yang remang, hanya terdengar suara piano tua yang dimainkan dengan lembut oleh seorang pria kurus dengan rambut yang mulai memutih. Lucian Sorel duduk di sana, menunduk, memandangi tuts piano dengan mata lelah yang seolah tak lagi memancarkan harapan.

Di dalam kesunyian, jari-jarinya yang panjang mulai bergerak, menekan tuts piano dengan ragu-ragu. Lalu, perlahan, sebuah melodi suram mengalir keluar. Melodi itu berat, seperti serpihan keputusasaan yang terjatuh ke tanah, satu per satu. Setiap nada adalah rasa sakit yang ia rasakan---rasa sakit yang telah lama berakar di hatinya, sejak wanita yang ia cintai pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata. Tak ada penjelasan, hanya perasaan kosong yang menggantung di udara, membekas di jiwanya.

"Minggu Kelabu." Begitulah ia menamai lagu itu, sebuah lagu yang lahir dari luka hati terdalamnya. Bagi Lucian, melodi ini adalah satu-satunya cara untuk menyuarakan kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan dalam kata-kata. Lagu itu lahir dari cinta yang hilang, dari kepedihan yang tak pernah benar-benar bisa ia atasi. Setiap nada, setiap harmoni, seolah-olah adalah teriakan sunyi dari jiwanya yang terperangkap dalam kesepian.

Hari demi hari, ia memainkan lagu itu. Di sebuah kafe kecil di tepi sungai Danube, para musisi mulai menyanyikannya, mengalirkannya di antara suara gelas anggur dan obrolan orang-orang yang sedang meresapi malam. Ada yang berhenti berbicara ketika mendengar melodi itu, ada yang menundukkan kepala, merenungi sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan. Nada-nada "Minggu Kelabu" menyelubungi ruangan dengan kesuraman, seperti embun dingin yang merayap di atas jendela.

Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Seorang pria tua, yang kerap duduk di sudut ruangan sambil menatap kosong ke luar jendela, ditemukan tak bernyawa di apartemennya. Pistol tergeletak di sampingnya, dan di atas meja kayu di sebelah tubuhnya, ada secarik kertas dengan lirik lagu "Minggu Kelabu" yang tercoret di atasnya. Beberapa hari kemudian, seorang gadis muda yang selalu duduk sendirian di bar kafe itu, meminum racun setelah mendengarkan piringan hitam yang memutar lagu tersebut.

Di seluruh penjuru kota, cerita-cerita mulai menyebar. Mereka yang mendengarkan lagu itu, konon, merasakan sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan---sebuah rasa sesak di dada, keputusasaan yang mendalam, seolah-olah melodi itu menarik mereka ke dalam jurang kegelapan. "Minggu Kelabu" menjadi lebih dari sekadar sebuah lagu. Ia berubah menjadi legenda, dihantui oleh kisah-kisah kematian yang mengiringinya.

Di balik segala kehebohan itu, Lucian Sorel hanya bisa terdiam dalam kesendirian. Ia mendengar bisik-bisik orang-orang, mendengar rumor bahwa lagunya terkutuk, membawa kematian bagi siapa pun yang mendengarkannya dengan hati yang terluka. Tapi ia tak ingin mempercayainya. Baginya, lagu itu hanyalah cermin dari apa yang ia rasakan---sebuah kesedihan yang begitu dalam hingga tak bisa ia ungkapkan kecuali melalui melodi.

Namun, semakin banyak cerita kematian yang datang, semakin dalam rasa bersalah itu menghantui dirinya. Ia mulai menghindari orang-orang, mengurung diri di kamar sempitnya, dan hanya memainkan lagu itu di tengah malam, ketika tak ada yang mendengarkan. Jari-jarinya, yang dulu begitu yakin menyentuh tuts-tuts piano, kini gemetar. Melodi yang dulu ia anggap sebagai pelipur lara kini berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan.

Waktu berlalu. Dunia luar mulai memerhatikan lagu ini. Di berbagai siaran televisi dan radio memutuskan untuk melarang pemutaran versi vokal "Minggu Kelabu" di radio. Orang-orang takut. Takut pada sesuatu yang mereka tak bisa pahami. Takut pada melodi yang membawa bayangan kematian. Namun, di tengah-tengah ketakutan itu, ada juga mereka yang merasakan keindahan dalam kesedihan yang ditawarkan oleh lagu ini. Penyanyi jazz terkenal dari Amerika. Ia membawa "Minggu Kelabu" ke panggung-panggung besar, suaranya yang lembut dan penuh perasaan menyanyikan setiap lirik dengan hati yang penuh. Lagu itu kembali hidup, dan seperti sebelumnya, cerita-cerita tentang kematian yang mengikuti lagu itu pun tak berhenti bermunculan.

Sementara itu, di Marleon, Lucian semakin tenggelam dalam kesedihannya. Tahun demi tahun berlalu, dan tak ada yang berubah. Kehidupan terus berjalan, tetapi ia tetap terjebak dalam masa lalunya, dalam luka yang tak pernah sembuh. Setiap kali ia mendengar lagu itu dimainkan, ada sesuatu yang terasa hancur di dalam dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline