Lihat ke Halaman Asli

Risandi Daeng Sitaba

Orang yang hidup hanya memiliki uang, adalah orang paling miskin di dunia

Jingga Braga (Memiliki Untuk Mengikhlaskan)

Diperbarui: 6 April 2020   05:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudut Kota Bersama Senja

Jingga Braga

Aku menemukanmu dalam runtuhan remuk, ku beri takupan tangan lalu kau sambut dengan peluk.
Bersusah payah aku menumbuhkan rasa percaya dirimu, memberimu kekuatan mengajakmu berbicara hingga kau pun berani tertawa setelah kecewa.
Etah siapa yang memulai, ceritanya berlanjut dibeberapa kedai dan tempat tempat biasa aku menikmati kesendirian.
Menyeduh kopi dibatas kata, meresapi hangatnya senja diselah sesap dan gelak tawa.
Episode bersamamu, coba aku urut satu persatu, mengenal apa warna kesukaanmu, lagu favoritmu hingga kopi kecintaanmu.
Takupan tanganku yang dulu merangkul mu saat pilu, menjelma setangkup rasa, serta ambisi untuk dapat memilikimu seutuhnya.
Semesta tidak akan pernah tau tentang apa yang kita sebut bahagia, apakah itu nyata atau hanya penenang rasa luka.
Apakah itu cinta?, ataukah hanya pelarian saat luka?
Nyatanya kau hanya butuh ditemani, bukan untuk dilengkapi.
Ketika kau rapuh ada aku yang menyambutmu, merawat hatimu yang sedang pilu.
Disaat hatimu kembali utuh, sayangnya aku hanya penyembuh pilu, dan kau memilih kembali, pada apa yang dulu kau sebut masalalu.
Sebisa mungkin pejamkan matamu, tenangkan pikiranmu, alihkan perasaanmu, nikmatilah alam disekelilingmu.
Rebahkan pilu dihatimu, beristirahatlah dari apa yang mengganggu pikiranmu selama ini.
terkadang memikirkan sesuatu secara berlebihan itulah penyebab sakit tak berkesudahan.
Berulang nasihatku menguatkanmu, menumbuhkan rasa percaya dirimu, dengan harapan pada akhirnya kau dapat menerima aku.
Nyatanya perasaan ini hanya sepihak, apalah daya, jika pada akhirnya kau menolak, menaruh harap agar sekedar dekat, namun bayangan masalalu masih memelukmu terlalu erat.
Ya. Harus diakui.
Memang berat, bernegosiasi dengan hati yang terlanjur berharap.
Mungkin lebih baik aku pergi, melepas bayangmu secara perlahan, namun bukan untuk melupakan.
Genggaman tangan, pelukan, diskusi ringan, dan rebahmu dibahu kanan, harus coba aku benamkan.

Karya : Risandi Daeng Sitaba

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline