Hampir satu minggu keriuhan di jagat media massa dan media sosial terjadi saling bersahutan. Pokok perkaranya adalah karena perubahan status kepegawaian di KPK yang kini masuk dalam jajaran ASN/PNS. Sebagai informasi, KPK termasuk pegawainya sebelumnya menikmati status "independen" walaupun sumber gaji mereka didaftarkan pada pos pengeluaran di APBN. Keriuhan menjadi-jadi karena dalam proses seleksi untuk pengalihan status kepegawaian, ada 75 orang tidak memenuhi syarat dari 1.349 peserta yang ikut test. Satu dari yang tidak lulus ternyata terdapat "tokoh besar" yang selama ini menjadi ikon KPK, Novel Baswedan. Dari sanalah dibuat narasi seolah tim seleksi memang menarget 75 orang yang tidak lulus. Tidak kurang alat test yang dikembangkan oleh lembaga profesional dan lembaga resmi negarapun turut dipertanyakan.
Bagi pembaca yang juga pernah mengikuti test CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) tentu tidak asing dengan metode bahkan daftar pertanyaan psikotes mental kebangsaan. Pertanyaan untuk mengetahui preferensi dan kecakapan mental seperti yang dikenakan kepada CPNS KPK juga tidak akan jauh beda dari tes CPNS yang ada. Seperti pengakuan penyelenggara test di KPK, tes yang dikenakan bagi CPNS Umum adalah test entry level untuk melihat potensi kesetiaan dan ketaatan kepada negara dan sistemnya. Sementara bagi pengalihan pegawai KPK hal ini dikatakan sebagai tes lanjutan berkenaan dengan pemahaman akan wawasan kebangsaan. Metode yang digunakannya pun multimetode; Indeks Moderasi Bernegara dan Integritas (IMB-68), penilaiaan rekam jejak (profiling) dan wawancara dan digawangi oleh multiasesor; Dinas Psikologi TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BAIS dan Pusat Intelijen TNI AD. Semuanya dilakukan sebagai implementasi dari UU ASN. Lantas kenapa masalah malah timbul?
Sebagai orang yang selalu sanksi dengan "independensi," titik awal pandangan harus kita arahkan kepada makna "independen". Dulu sekali terjadi perdebatan apakah makna dari independen itu hanyalah berupa pelaksanaan kerja yang tidak diintervensi? Lantas apa bedanya dengan profesionalitas? Orang-orang dengan profesionalitas tinggi tidak mau kerjaannya diintervensi karena setiap karya yang dihasilkannya adalah magnum opus bagi dirinya. Lantas muncul pertanyaan, apakah Independen hanya berarti pembiayaan operasional kerja yang terlepas dari lembaga manapun? Kalau lembaga ini adalah lembaga yang bukan didirikan oleh Undang-Undang, memang tidak masalah. Namun jika dia diamanatkan oleh Undang-undang, maka tentu dia harus dibiayai oleh APBN dan tunduk pada aturan dan sistem negara.
Agaknya, "independen" inilah yang kini menjadi soal. Pegawai KPK bukan "PNS" selama ini karena kampanye "independensi" yang berujung pada aturan "memiliki hak keuangan" yang seolah terlepas dari aturan ASN/PNS. Boleh jadi karena KPK berisi orang dari Kejaksaan, Kepolisian, bahkan dari kalangan profesional maka sistem penggajian saat itu masih belum ajeg karena sifat "idependen" KPK. Dengan UU ASN baru, maka sudah jelas dimana posisi pegawai KPK ini di dalam hierarki bernegara.
Jika melihat kebelakang disaat organisasi masyarakat sipil, gerakan rakyat, mendengungkan perlu adanya KPK, semangat saat itu memang semangat sebagai organisasi non pemerintah yang begitu kuat. Seolah-olah lembaga yang paling bisa menjalankan fungsi pemberantasan dan pencegahan korupsi hanyalah lembaga yang diluar negara. Walaupun mereka menuntut juga anggaran pembiayaan dari negara. Semangat organisasi sipil pada titik ekstimnya adalah meniadakan negara dalam pengaturan tata hidup bermasyarakat (stateless). Karena diasumsikan bahwa warga berdaya untuk mengatur cara hidupnya bersama. Nampaknya "semangat" ini masih begitu kuat hingga lebih 20 tahun keberadaan KPK.
Cara pandang ke NGO-an bahwa KPK independen ini diujikan diberbagai momen saat membela para komisioner (ingat bukan pada programnya). Lihat saja bagaimana aksi publik saat cicak-buaya, atau aksi dukung Bambang Widjojanto, Novel Baswedan, dan lainnya. Saat kasus ini merebak, jalan yang ditempuh komisioner adalah dengan menggalang aksi mengunakan lembaga yang disebut sebagai wadah pegawai (bukan seperti serikat pekerja). Opini dikembangkan sedemikian rupa bahwa kelembagaan KPK itu begitu sakral dan suci, dan komisionernya juga demikian. Siapapun yang mengkritik atau bahkan tidak sejalan akan dianggap sebagai pengganggu kesucian, harus dibinasakan. Karena sejarah berdirinya jugalah akhirnya berbagai kalangan dijadikan spin doctor dalam permainan wacana. Hasilnya, seorang yang anti korupsi harus juga menguatkan kelembagaan KPK, logika sesat yang dipaksa oleh fansboy KPK kepada pihak diluarnya.
Ketika negara berupaya meluruskan kembali lembaga-lembaganya,termasuk KPK, sesuai wilayah kewenangannya, perlawanan terjadi disana-sini. Perlawanan yang demikian ini tentu bukan barang baru, tapi karena saat ini media komunikasi begitu erat dan luas, maka keributan antar 2 orang sahabat sekalipun bisa menjadi seolah berasa nasional dengan "viral" sebagai kuncinya. Inilah yang tejadi dalam perdebatan soal seleksi pengalihan pegawai KPK. Siapapun yang tidak mengikuti narasi utama akan dimaki dan di labelisasi sebagai perusak KPK, Pro Koruptor, dan lainnya. Akhirnya substansi masalah, apakah KPK itu kuasi NGO atau Lembaga Negara semakin jauh dari wacana apalagi kesadaran publik.
Banyak orang yang juga anti korupsi mulai dari pikiran, perasaan dan tindakan namun juga punya kritik keras terhadap KPK akhirnya tidak mau ikut berpolemik. Menyerah, dan membiarkan narasi dominan berlangsung ketimbang harus menguras tenaga berdebat substantif. Akhirnya narasi para fansboynya pun menjadi narasi dominan, pandangannya KPK adalah Kuasi NGO. Demi seseorang yang secara sistem bahkan memposisikan diri diatasnya, haruskah negara tunduk?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H