Selasa (16/01) media nasional, termasuk media ini, ramai memberitakan Presiden Joko Widodo yang memimpin langsung rapat penyelesaian masalah sungai Citarum. Sungai yang dijuluki sebagai salah satu sungai terkotor didunia. Beberapa media mengutip pernyataannya memberi penegasan bahwa rapat tersebut adalah lanjutan rapat yang sebelumnya dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Maritim. Sebuah penegasan bahwa masalah Citarum akan diselesaikan terpusat melibatkan multi pemangku kepentingan.
Sebagai salah satu sungai purba (Harjasaputra, 2007), permasalahan yang dihadapi sungai Citarum sendiri sebenarnya sudah sejak lama diketahui. Keberadaan pabrik tekstil yang massif dibagian hulu (Finesso, 2011) sejak 1980-an pun telah lama diketahui mencemari aliran sungai ini. Laporan hasil kajian PT Indonesia Power dan Lembaga Ekologi Universitas Padjajaran (Institut Ekologi, 2004) memastikan beratnya kandungan bahan berbahaya yang mengalir bersama air sungai Citarum. Media internasional Dailymail.co.uk misalnya, jauh hari telah mengeluarkan laporan beban sampah Citarum sejak 2007. Tahun 2008 the guardian juga melaporkan pencemaran di Citarum dan banyak media Internasional lainnya.
Lahan kritis, sedimentasi, kotoran/sampah, kandungan bahan beracun dan berbahaya juga sudah diketahui jauh sebelum dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Penetapan Wilayah Sungai yang menempatkan Citarum sebagai Sungai Strategis Nasional. Ide pokok pengelolaan sumber daya air yang menempatkan Kementerian Pekerjaan Umum sebagai penanggung jawab pelaksana menjadi leading sector. Peraturan ini juga yang melandasi keluarnya Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 197 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Citarum.
Sebagian kalangan mengkritik penyelesaian masalah Citarum sebelum era Jokowi berujung pada "komoditifikasi (privatisasi) air." Kita juga masih ingat bagaimana Integrated Citarum Water Resources Management Program (ICWRMP) tahap pertama diajukan tahun 2003 oleh Kementerian Pekerjaan Umum kepada Asian Development Bank. Kita juga tentu masih ingat perdebatan dari awal hingga dibatalkan Undang-undang sumber daya air nomor 7 Tahun 2004, yang kini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pendekatan penyelesaian masalah Citarum yang parsial di era dahulu menjadi kritik yang ditampilkan pemerintahan Jokowi dengan menggelar rapat koordinasi langsung sebagaimana diberitakan media massa, Selasa (12/01). Jokowi melibatkan kementerian koordinator selain pemerintah daerah untuk memimpin langsung perubahan Citarum. Setidaknya kita bisa menangkap pesan bahwa masalah di Citarum, adalah masalah bangsa yang perlu pendekatan holistik dengan kepemimpinan manajemen perubahan. Pesan lainnya adalah kritik Jokowi terhadap kepemimpinan pemerintah daerah yang telah dua periode menggunakan Citarum sebagai bahan kampanye namun julukan sungai terkotor (most polluted), banjir, dan pencemaran yang masih terus berlangsung.
DriverPerubahan
Dalam rapat di Bandung, Jokowi menandaskan pentingnya pendekatan dan manajemen terintegrasi dalam penyelesaian masalah di Citarum. "Kuncinya ada di integrasi semua kementerian, lembaga, pemerintah pusat, daerah, provinsi, kabupaten, dan kota. Kuncinya hanya di sini," pesan Jokowi sebagaimana dikutip Pikiran-Rakyat. Pesan tersebut dilanjutkan dengan "Saya tidak mau Sungai Citarum menjadi tempat pembuangan limbah raksasa bagi pabrik-pabrik yang berlokasi di tepian sungai." Menggunakan "saya," Jokowi semakin menegaskan bahwa dia lah yang akan menjadi driverdalam perubahan Citarum Harum.Citarum Harumsendiri adalah konsep perbaikan Citarum yang diusung oleh Kodam Siliwangi jelang akhir 2017.
Sungai Citarum melalui 10 Kabupaten dan 3 Kota di Jawa Barat. Sekurangnya 15 juta jiwa bergantung pada kualitas Citarum. Masalah yang dihadapi Citarum pun sangat beragam dan berjalin kelindan. Banyak pihak yang harus dilibatkan untuk mengurai masalah di Citarum. Banyak "ego sektoral" yang harus ditundukkan. Pendekatan-pendekatan lama untuk penyelesaian masalah sudah waktunya diganti. Mentalitas passangerharus diubah menjadi Driver karena bangsa yang hebat adalah driver nation (Kasali, 2014). Untuk itu perlu pemimpin yang juga bermentalitas driver untuk membawa masyarakat ini kearah perubahan yang mensejahterakan. Inilah yang ditunjukkan Joko Widodo dalam memimpin perubahan di Citarum.
Dengan mendudukkan Menteri setingkat Kementerian Koordinator bersama dengan Kepala Daerah Kabupaten/Kota, Jokowi mempertunjukan bahwa masalah Citarum jangan lagi dipandang sebagai masalah Gubernur Jawa Barat saja, atau Pemerintah Kota Bandung saja, atau Kementerian Pekerjaan Umum saja. Dengan menunjuk (walaupun belum secara formal) Kementerian Koordinator Bidang Maritim sebagai leading sector rapat-rapat penyelesaian masalah Citarum dari tingkat pusat, Jokowi ingin memastikan bahwa perubahan Citarum sudah tidak mungkin diselesaikan hanya oleh Gubernur Jawa Barat dengan pendekatannya.
Sebagai pemimpin untuk merubah Citarum, arahan Jokowi terhadap perubahan pun disampaikan dengan jelas. Tidak mau sungai Citarum menjadi tempat pembuangan limbah raksasa, revitalisasi mulai dari hulu, tengah, sampai hilir, pekerjaan dimulai 2018, pembenahan selesai dalam 7 tahun. Bahkan Luhut Panjaitan mengatakan pendanaan pun telah siap jika dibutuhkan.
Demikian pula aktor-aktor yang akan dilibatkan dalam penanganan Citarum. Rapat yang dihadiri juga oleh Panglima TNI, Kapolri, dan jajaran kementerian teknis lainnya memberi sinyal kuat bahwa "Integrasi" sebagai kunci penyelesaian Citarum sudah siap menyalakan mesin perubahan. Kepemimpinan yang demikian ini mutlak dibutuhkan Indonesia untuk membawa Indonesia yang makin hebat dan kuat. Indonesia membutuhkan orang-orang baik yang mampu mendrive perubahan menuju masa emas 2045 nanti.