Terbongkarnya jaringan sindikat produsen dan penyebar hoax dan kebencian berbasis SARA, Saracen masih ramai diberitakan di media massa Indonesia. Aparat penegak hukum tampaknya tidak main-main untuk membongkar habis Saracen, bukan hanya sekedar jaringan distributor dan aktor produsennya. Sampai klien pengguna Saracen pun kini di kejar aparat penegak hukum.
Sebelumnya, di media sosial sudah banyak tersebar sejumlah orang yang "tercyduk," istilah warganet terhadap mereka yang ditangkap Kepolisian RI akibat ulahnya bermedia sosial. Ada seorang ibu rumah tangga yang akunnya penuh unggahan kebencian terhadap etnis tertentu ditangkap. Ada pula akun anak muda yang mengunggah banyak sekali foto/meme yang menghina aparat negara, juga ditangkap. Ada juga akun remaja yang begitu gagahnya menghina Kepala Kepolisian RI, namun begitu di satroni anggota Kepolisian RI sontak menjadi mangkret.
Dimasa Pemilihan Presiden Tahun 2014, tidak terhitung saling serang ujaran-ujaran kebencian terhadap pasangan calon. Walaupun Pemilihan Presiden sudah selesai dan pemenang sudah ditetapkan secara hukum, nyatanya bara sisa "pertempuran" masih terus menyala. Bara ini yang kemudian juga meletup kembali pada masa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Entah bagaimana awal mulanya, namun dapat diduga maraknya penggunaan akun media sosial untuk berbagai kepentingan beriringan dengan makin besarnya penetrasi internet terhadap penduduk Indonesia. Dalam isu-isu politik hal ini nampaknya dimulai mendekati tahun 2014 jika merujuk data penetrasi Internet yang belum begitu besar pada tahun sebelumnya. Tidak berlebihan jika membandingkan kampanye melalui internet (media sosial) Pilpres di Indonesia dengan apa yang terjadi saat Presiden Amerika Serikat, Barack Obama terpilih untuk yang kedua kalinya.
Namun sayangnya era kampanye dimana kandidat dan para pendukungnya mempromosikan kelebihan calonnya, juga membiarkan berkembangnya kelemahan (negative campaign) bahkan mengarah yang pada kampanye fitnah. Saya tidak mau menggunakan istilah kampanye hitam, black campaign, yang juga sudah mengandung diskriminasi. Residu sisa pergesekan era persaingan Pilpres inilah yang dibaca oleh kelompok tertentu sebagai market bagi bisnisnya. Bisnis informasi hoax dan ujaran-ujaran kebencian. Para pebisnis yang demikian inilah yang kemarin-kemarin sempat sukses "merekrut" para distributornya dengan biaya murah bahkan gratis untuk menyebarkan informasi hoax dan ujaran kebencian yang diproduksinya.
Bukan Demokrasi Kebablasan
Banyak pendapat yang menghubungkan maraknya ujaran kebencian dan hoax di media sosial dengan istilah demokratisasi yang kebablasan. Euforia Era demokrasi yang baru dinikmati setelah 32 tahun di kebiri oleh Soeharto, dianggap menjadi titik awal dimana semua orang merasa perlu "menikmati" kebebasan menyatakan pikiran, pendapat dan sikapnya. Semua orang merasa berhak untuk bersuara termasuk jika suara itu ternyata berisi hujatan, kebencian, kebohongan bahkan fitnah yang begitu merusak kerekatan sosial diantara sesama anak bangsa. Solusi yang ditawarkan dari cara pandang "demokrasi yang kebablasan" inipun sejalan dengan formalisasi demokrasi, menyelesaikan dengan mekanisme hukum. Walhasil, pengeluaran negara untuk membiayai narapidana juga akan membengkak. Penyelesaian-penyelesaian secara sosiologis nampak kurang diminati karena sedang tingginya "kesadaran hukum" yang sedang digandrungi masyarakat.
Benarkah demokrasi yang baru dinikmati kembali setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998 ini sudah dapat dikatakan kebablasan? Dengan mengatakan bahwa demokrasi sudah kebablasan, ini mengindikasikan adanya titik standar demokrasi atau bisa dikatakan ada titik final dimana demokrasi dirasa "cukup." Dimanakah titik cukupnya demokrasi?
Sebagai sebuah sistem yang diakui bukan sebagai sebagai sistem yang final, sebenarnya agak berlebihan jika dikatakan saat ini Indonesia sedang dalam situasi "kebablasan." Belum ada satupun ahli yang mengatakan bahwa sistem demokrasi sebagai sistem yang paling baik dalam menjalankan pemerintahan dan hidup bersama. Bahkan Amerika Serikat yang mengelu-elukan sistem demokrasi negerinya di berbagai belahan dunia lainnya juga tidak mengatakan bahwa sistem inilah yang paling baik dan final. Lebih dari 100 tahun Amerika telah mempraktekkan demokrasi, mereka tidak memfinalkannya. Karena itu tidak ada istilah kebablasan sebagaimana kosa kata bernafas politik yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.
Demokrasi yang sedang dinikmati bangsa ini tidak dapat dikatakan kebablasan. Kalau eforia keterbukaan dan kebebasan masih begitu menggelora, wajar saja karena generasi yang dahulu merasakan berjuang menentang rejim otoritarian Orde Baru pun belum cukup lama memasuki era mereka berkiprah besar dalam perpolitikan praktis. DIsaat bersamaan glorifikasi keterbukaan dan kebebasan rasanya masih renyah menjadi dagangan politik.
Kita masih sering melihat bagaimana oknum-oknum yang ditindak aparat hukum karena ujaran kebencian, fitnah, dan sejenisnya terus berlindung dibalik idiom kebebasan dan keterbukaan guna melindungi dirinya. Padahal di negeri manapun, bibit kehancuran sebuah bangsa akan tumbuh subur disaat masyarakat abai terhadap nilai dasar kemanusiaan yang menjadi perekat kebersamaan. Jika ujaran kebencian terus dibiarkan, malah terus dipupuk, maka akan sia-sia upaya meruntuhkan rejim otoritarian Soeharto yang dulu pernah dilakukan.