Lihat ke Halaman Asli

Surya Ferdian

Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Bikin Gaduh Potong Video Utuh

Diperbarui: 15 Agustus 2017   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

3 Agustus 2017 yang lalu, warganet riuh dengan potongan video yang berisi tayangan pidato Ketua Fraksi Partai NasDem Viktor B. Laiskodat. Media pertukaran pesan, whatsapp, begitu efektif mengirimkan potongan tayangan pidato dari satu gawai ke gawai lainnya. Tidak cukup bertransmisi lewat gawai, ia juga diikuti dengan unggahan media sosial lainnya seperti twitterdan facebook. Mungkin ini agar makin banyak orang yang mengetahui dan mengikuti kehebohan. Hasilnya, empat partai yang disebut dalam pidato tersebut meradang dan melaporkan Viktor atas berbagai tuduhan - tuduhan yang berasal dari sepotong video.

Peristiwa ini sebenarnya bukan fenomena baru. Sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang waktu itu sedang berkontestasi di Pilkada DKI, juga diperlakukan hampir serupa. Sumbernya sama, video yang dipotong dan disebarluaskan untuk kepentingan tertentu. Walaupun sudah ada putusan pengadilan yang menegaskan bahwa perekaman yang dilakukan bukan oleh penegak hukum tidak dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, faktanya, mantan Gubernur DKI tersebut kini mendekam dipenjara akibat tuduhan yang bersumber dari sebuah potongan video.

Menyelisik, menghitung

Dengan menggunakan cara sederhana dari alat yang tersedia di ranah online seperti laman pencarian google, sebenarnya kita bisa dengan mudah melihat dan menganalisis pesan yang dimaksud oleh si penyampai pesan. Dengan cepat juga kita bisa membandingkan frasa-frasa yang sering muncul untuk dapat menyimpulkan ke mana sebenarnya arah pembicaraan.

Dalam peristiwa video pidato Ketua Fraksi NasDem yang telah dipotong, benar apa yang dikatakan Wakapolri Komjen Syafruddin bahwa perlu diteliti lebih mendalam video yang menjadi bahan laporan. Tepat juga saran yang disampaikan Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin bahwa yang diperlukan adalah klarifikasi terkait video yang beredar luas dan menimbulkan kegaduhan. Karena akan menjadi bias jika mendasarkan masalah hanya menggunakan sumber yang tidak utuh dan telah diubah sedemikian rupa.  

Baru pada tanggal 7/8 atau empat hari setelah video yang dipotong tersebar luas di warganet, DPP Partai NasDem menyampaikan klarifikasi dan pernyataan sikapnya. Dalam pernyataan resmi tersebut disertakan juga rekaman suara utuh dan transkrip rekaman. Media seperti detik.com bahkan memuat secara lengkap transkrip suara utuh pidato yang video rekaman terpotongnya membuat empat partai meradang.    

Dengan sedikit keisengan menggunakan ctrl (cmd)+f di aplikasi MS office word, dan menuliskan kata "negara", "khilafah", "mereka", "Kupang", "Indonesia", "jaga", "bunuh", "saya", "dia", "kita", "partai", "bupati", "mati", "PKI", "ekstrimis", dan dialek daerah setempat seperti "dong", "su", "ko", ternyata banyak hal menarik yang nampaknya terpotong dari rekaman utuh yang berdurasi 21 menit 12 detik itu.

Metode menganalisis isi teks seperti ini pernah secara lengkap dipopulerkan Klaus Krippendorf tahun 1980-an (Krippendorf; 2004) dan banyak di temukan pada penelitian-penelitian komunikasi di Indonesia era tahun 1990-2000-an. Perkembangan metode analisis isi semacam ini sekarang sudah menggunakan teknologi komputasi software seperti nvio dan lainnya. Biasanya, metode ini digunakan oleh peneliti kualitatif untuk menganalisis dokumen, hasil wawancara, dan sejenisnya.  

Namun karena "keisengan" yang didorong rasa penasaran ini memang tidak menggunakan secara keseluruhan metode yang dikembangkan Krippendorf. Untuk lebih memastikan temuan "iseng" di google kita bisa lakukan dengan mengetikkan frasa "word frequency tools". Kita juga bisa gunakan dua laman penghitung frekuensi kemunculan kata, misalnya yang disediakan oleh https://www.online-utility.org(text analyzer/TA), dan http://www.writewords.org.uk (word frequency/WF).

Dari frekuensi munculnya kata yang telah diolah oleh kedua laman tersebut diikuti kemudian memeriksanya secara manual ke dalam teks lengkap transkrip, akan didapati angka kemunculan yang sama. Sebaran kata yang dicari adalah penggunaan kata dasar sehingga untuk jenis kata yang berimbuhan akan diabaikan.

Menggunakan ketiga alat yang berbeda, didapati kesamaan frekuensi kemunculan kata. Kata "negara," "khilafah," dan "Intoleransi," misalnya berturut turut berjumlah 21 kali, 6 kali, dan 5 kali kemunculan. Begitu pula dengan kata "partai," "mereka," dan "Kupang," berjumlah 24, 12 dan 17 kali kemunculan. Kosa kata daerah seperti Dong, Su, Ko terbilang cukup sering muncul dengan rata-rata 19,6 kali penyebutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline