Lihat ke Halaman Asli

Gim Elektronik, Mulai dari Dampak Negatif, Dukungan, hingga Atlet E-Sport

Diperbarui: 25 Oktober 2021   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Pexels/ Tima Miroshnichenko 

Salah satu penyebab kenapa permainan elektronik dianggap memiliki dampak buruk bagi perkembangan anak adalah sifatnya yang adiktif.

John Hopson, seorang peneliti di bidang permainan elektronik di Microsoft Game Studio menjelaskan bagaimana seorang desainer permainan elektronik mengontrol prilaku penggunanya dengan beberapa stimulus dan penghargaan melalui strategi waktu dan tempat.

Penyandang gelar doktor di bidang perilaku dan otak itu kemudian menambahkan bahwa anak-anak dengan perilaku impulsif yang buruk, atau sulit menyesuaikan diri adalah kelompok yang rentan terhadap kecanduan gim elektronik.

Maka, saran yang diberikan adalah dengan keterlibatan orangtua dan lingkungan sekitar untuk membatasi kecanduan gim elektronik ini.

Namun yang menjadi menarik adalah, antara permainan tradisional dengan elektronik memiliki kemiripan dampak pada kecanduan anak untuk terus melakukan permainan. Mereka sesugguhnya beranggapan bahwa permainan adalah aktivitas tanpa batas. Karena, pada keduanya memiiliki stimulus dan reward yang diberikan saat melakukan tugas yang telah diberikan.

Perbedaannya adalah, kini, gim elektronik ditasbihkan sebagai olahraga yang disebut sebagai eSport.

Di Indonesia sendiri, eSport menjadi kian pesat. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah yang memberikan ruang dan waktu bagi perkembangannya. Salah satunya, dengan menjadikannya salah satu cabang olahraga yang dapat dipertandingkan di penyelenggaraan pekan olahraga nasional hingga internasional.

Profesi sebagai atlet eSport kemudian ikut terangkat sebagai salah satu pilihan karier yang sangat menjanjikan. Berawal dari hobi bermain permainan daring, seorang pemain gim dapat memiliki penghasilan hingga ratusan juta rupiah, tatkala menjadi atlet eSport atau pemain game profesional.

Sebagai contoh, seorang remaja Amerika Serikat berusia 16 tahun, bernama Kyle Giersdorf, yang telah menjuarai kompetisi Fortnite World Cup 2019.

Sebagai pemain terbaik di ajang bergengsi tersebut, ia berhak membawa pulang uang tunai senilai Rp 42 miliar. Giersdorf pun menjadi atlet eSport individual, yang meraih hadiah terbanyak di skena kompetitif ini.

Bukti nyata lainya, datang dari dalam negeri, di mana dua orang pemain Mutiplayer Online Battle Arena (MOBA) asal Indonesia, ikut berpastisipasi di turnamen terbesar Dota 2, yakni The International 10. Mereka ialah Kenny 'Xepher' Deo dan Matthew 'Whitemon' Filemon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline