Lihat ke Halaman Asli

Audisi Badminton dan Hegemoni Brand Rokok

Diperbarui: 10 April 2019   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Jawapos.com

"Emang rokok haram?"

Pertanyaan itu menjadi pertama dari diskusi saya dengan seorang aktivis Paud. Tema kala santap malam di sebuah restoran itu mengenai program company social responsibility perusahaan rokok. Lawan bicara saya seorang wanita kesehariannya bersama anak-anak di bawah 7 tahun; dan saya cukup terkejut juga karena ia tak keberatan atas kehadiran brand rokok di sekitar anak-anak.

Perihal haram/halal sebuah produk menjelaskan bahwa rokok pun masuk ke dalam ranah keagamaan. Jika dalam pandangan agama di suatu negara bernama Indonesia rokok masih sedemikian ambigu, apakah peran pemerintah mejadi sedemikian efektif?

Menurut Bagja Hidayat, editor senior Tempo, tidak ada satu pun rejim di negeri ini yang berani mengusik bisnis rokok Indonesia.

"Pada zaman SBY sempat ada upaya pengawasan rokok sebagai zat adiktif. Tapi tiba-tiba menguap. Di zaman Jokowi bahkan tidak ada usaha itu sama sekali," demikian ia berucap.

Pendapatnya itu ia sampaikan dalam sebuah sesi kajian "Tangkis Eksploitasi Anak" (31/3) yang bertempat di Perpustakan Kemendikbud, Jakarta Selatan. Program yang diinisiasi oleh Yayasan Lentera Anak itu juga menundang pakar hipnoterapi, Liza Djaprie.

Setidaknya, ada suatu kesepakatan bersama di mana saya, wanita teman diskusi saya yang berprofesi pengajar Paud itu, pembicara "Tangkis Eksploitasi Anak", dan segenap penduduk Indonesia menyatakan bahwa rokok tidak baik bagi kesehatan. Maka, jika tidak baik bagi kesehatan tubuh seharusnya benda tersebut dijauhi masyarakat, wa bil-khusus dari anak-anak.

Lahirnya Peraturan Pemerintah bernomor 109, pasal 47, di tahun 2012 memberikan proteksi itu kepada anak-anak dari pengaruh rokok, mulai dari produk hingga turunannya. Bunyinya seperti ini :

"Setiap penyelenggaraan kegiatan yang disponsori oleh Produk Tembakau dan/atau bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau dilarang mengikutsertakan anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun."

Aturan ini sangat jelas redaksinya, dan mudah dipahami. Namun jika menempatkan diri sebagai pemilik brand rokok, peraturan tersebut tentu menjadi sebuah isu. Lalu di sinilah peran pemilik pabrik untuk bersikap ganda. Sebagai  warga negara ia harus taat aturan. Tetapi sebagai pebisnis, mereka harus cari cara produk mereka tetap dikenal sebagai Top of Mind Brand. Contoh yang paling nyata adalah  Audisi Badminton Djarum 2018 yang melibatkan 5.957 anak-anak di kisaran umur 6-15 tahun.

Audisi ini menjadi begitu menarik karena pihak Djarum langsung bersikap defensif atas temuan Yayasan Lentera Anak, dan usahanya bersama Komnas HAM anak yang menyatakan Djarum telah mengeksploitasi ribuan anak-anak demi keuntungan pemilik pabrik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline