Lihat ke Halaman Asli

Tak Selamanya Bersandar pada Alat Pendeteksi Bencana, Hal Ini Menjadi Keutamaan

Diperbarui: 10 Februari 2019   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pri


Saat menjadi salah satu relawan bagi korban bencana gempa Lombok pasca tanggap darurat, saya mewancarai beberapa kepala keluarga di sana. Berbagai cerita mengalir dengan derasnya. Mereka bercerita seakan-akan kejadian itu baru saja terjadi di hadapan saya. 

Saya sempat berpikir, darimana kefasihan mereka dalam bercerita ini muncul? Yang kemudian saya sadari, bahwa semua itu hadir dari trauma yang mereka rasakan.

Saat gempa berkekuatan magnitudo 7 itu menerjang Pulau Seribu Masjid, banyak yang kehilangan daya, termasuk diantaranya melindungi orang-orang yang mereka cintai. 

Dari berbagai kisah yang saya dapat, ada seorang ibu yang rela berkorban demi anaknya yang paling kecil. Gempa yang yang terjadi pada 5 Agustus 2018 itu meruntuhkan satu per satu material bangunan tempatnya tinggal. Dengan cekatan, sang ibu menyambar bayinya yang tengah terlelap, dan berlari menuju pintu depan demi menyelamatkan diri.

Namun, baru saja berdiri dibingkai pintu depan itu, seluruh bangunan mulai ambruk. Sepersekian detik insting-nya berbicara; untuk menyelamatkan sang anak. Maka, dilemparlah balutan selimut dari tangannya ke luar rumah. Wanita itu pun tertimpa bebatuan tepat di bagian tulang belakang.  Meski isi di dalam selimut itu selamat, sembilan detik gempa di Lombok telah merenggut nyawa wanita tersebut.

Memotret Potensi Bencana dan Staretgi Jitu Mitigasi

Menurut Lilik Kurniawan, Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, sebagian besar korban dalam kejadian bencana alam merupakan ibu-ibu, kemudian berikutnya adalah anak-anak. Hal ini terjadi karena naluri orang tua yang begitu kuat dari diri seorang ibu menjadikan mereka golongan yang rentan terhadap bencana. 

Dok. Pri

Dalam satu tahun belakangan Indonesia telah mengalami berbagai macam bencana, mulai dari gempa, tsunami, likufaksi, serta banjir dan longsor. Perihal ini tidak terlepas dari fakta bahwasanya Indonesia merupakan wilayah yang subur akan bencana, di samping subur akan kekayaan alamnya. Hal itu berkolerasi kuat dengan kondisi geografis Indonesia yang memang terletak di kawasan rawan bencana (ring of fire).

Sebagai contoh yang nyata, Rahmat Triyono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG membeberkan ada sekitar lima ribu hingga enam ribu aktivitas gempa bumi terjadi di Indonesia tiap tahunnya; baik yang kecil hingga gempa di atas lima skala richter.

Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan antisipasi guna menghadapi bencana yang akan berlangsung ke depannya. Mengutirp prediksi BNPB, pada tahun 2019 ini akan terjadi peningkatan bencana di Indonesia sebanyak 350 persen dari tahun sebelumnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline