Masa kecil saya dengan Al Qur'an tidaklah terlalu dekat. Saya lebih suka main dengan teman-teman, ketimbang mengeja satu persatu tulisan yang bergelombang bagaikan ombak di pantai itu.
Saya punya guru ngaji. Ia tinggal di suatu 'bedeng', tempat di mana becaknya terparkir dan ditutupi dengan kain guna menghindari pengawasan satpol PP. Kalau sudah demikian, acara pengajiannya batal.
Pernah juga, kakak saya yang langsung mengawasi kemampuan membaca huruf Al Qur'an. Keluarga saya religius, memang. Saat dibawakan kitab keluaran kementerian agama, saya justru menolaknya. Sambil merengek, saya meminta kitab yang di bawah tulisan arabnya tertera huruf 'ajam (tulisan latin berbahasa Arab).
Saat mengaji, saya membaca huruf 'Ajam tersebut sambil menggerakkan lidi di atas tulisan Arabnya; seolah-olah tampak pandai mengaji. Licik ya..haha.
Hingga masuk SMP kedekatan saya dengan Al Qur'an tidak pernah berubah; kabur-kaburan. Menjelang naik kelas 3 SMP, di bulan Ramadhan yang kesekian kalinya dalam hidup saya, saya mengalami mimpi tentang kiamat.
Saya bangun tidur dengan kalap, nafas berkejaran, jantung berdegup kencang; saya merasa sangat berdosa. Seketika saya melakukan pengakuan dosa kepada kakak dan ibu, lalu memulai hubungan baru dengan kitabnya umat Islam tersebut.
Tante sayalah yang lebih banyak mengajar Al Qur'an kala itu. Dia juga yang mengenalkan saya dengan kelompok tadarusan di kisaran tempat tinggal keluarga kami. Melalui interaksi bersama mereka saya memahami bahwa tadarusan itu ada memiliki tahap:
Pertama, memperbaiki bacaan huruf Arab bersama-sama.
Kedua, menghapal ayat-ayat pendek.
Ketiga, mentadabburi arti dan makna dari ayat-ayat yang dibaca.