Lihat ke Halaman Asli

Ulasan Film "Call Me by Your Name" dalam Perspektif Seorang Partikularis

Diperbarui: 5 Januari 2018   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: texasartfilm.net

"Zwischen Immer und Nie. Between always and never"

Frasa ini dinukil dari puisi karya Paul Celan, penyair terkenal pasca Perang Dunia II. Penggambarannya akan konflik perasaan digunakan penulis buku "Call Me By Your Name" untuk kepentingan karakter utamanya, Elio.

Sepuluh tahun sesudah novel itu rilis, kisah karangan Andre Aciman telah sukses tertranskrip ke dalam seni sinematografi oleh Luca Guadagnino; yang diperankan aktor muda, Timothee Chalamet (Elio) serta Armie Hammer sebagai Oliver dalam judul yang sama.

Film ini sebenarnya sudah beredar di layar-layar festival internasional pada awal tahun 2017, namun mulai memasuki layar bioskop di kisaran bulan November; itu pun terbatas. Entah kenapa? Meski begitu, "Call Me By Your Name" masuk ke jajaran 20 box office Amerika di minggu terakhir Desember 2017, dengan meraup total pendapatan 4 juta U.S Dollar.

Sinopsis

Kisah bermula saat Oliver menjadi tamu musim panas keluarga Pearlman di sebuah kota kecil di utara Italia. Kedatangan pemuda 24 tahun itu merupakan bagian undangan magang profesor Pearlman (Michael Stuhlbarg), dan sekaligus untuk melengkapi penelitian program doktoralnya.

Sekalinya bertemu, Elio menyaksikan sikap Oliver yang serupa koboi. Tampak arogan; tak sungkan mendeklarasikan identitasnya sebagai seorang Yahudi; dan seolah acuh tak acuh itu menggubris benak anak semata wayang keluarga Pearlman. "Lihat saja, itu caranya ia berpisah kepada kita kala waktunya tiba dengan seraya berkata, 'Later' (nanti)!" hasut Elio di tengah acara makan malam yang tak dihadiri Oliver.

Penolakan bisa jadi bentuk lain dari hipokrit. Hanya saja, Elio tidak langsung memahami. Ia menyadari bahwa sesuatu berbeda terjadi di dalam dirinya: ia merasakan kontradiksi antara membenci dengan memuja seorang Oliver. Terpuruk; pemuda 17 tahun itu pun terjebak dengan rasa cinta kepada La Muvi Star, demikian sebutan lain ibunya untuk tamu mereka.

"Untuk sementara, kita harus betah bersamanya sepanjang enam minggu lamanya," Annella Pearlman (Amira Casar) memberikan pengertian. Enam minggu bukanlah waktu yang lama, bukan juga waktu yang dapat disimpan selamanya. Elio Pearlman hanya mampu berharap dan berspekulasi di kesempatan yang singkat itu untuk selalu bersama sang Americano. Musim panas tahun 1983 kala itu menjadi momen pendewasaan diri Elio dan Oliver.

Resume

"Call Me By Your Name" memvisualisasi diri dengan penuh perasaan, sehingga tak ada karakter antagonis di dalam film ini kecuali perasaan itu sendiri. Di dalamnya juga mengekspos kulit tubuh manusia, gairah masa muda, dan unsur-unsur yang sedemikian sensual ala musim panas Italia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline