Lihat ke Halaman Asli

Lagu "Akad" Payung Teduh dan Kisah Romansa "Zaman Old"

Diperbarui: 18 November 2017   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber dokumentasi: Facebook payungteduhofficial

Saat pertama kali melihatnya di YouTube, saya tidak langsung memutarnya; video musik "Akad" - Payung Teduh sudah mencapai penonton hingga puluhan juta. Amazing. Hal tersebut dikarenakan saya merasa sudah mengerti muatan yang disampaikan grup musik indie favorit saya itu ke dalam lagunya. Jadi, tidak perlu terburu-buru.

Hingga di suatu saat, saya menyaksikan caption berita yang mengulas kritikan massa kepada lagu keluaran baru band Payung Teduh tersebut. Diiringi rasa penasaran, saya malah tergopoh-gopoh mencari konten video "Akad" lalu memutarnya.

Telinga saya mengenal setiap lagu Payung Teduh dengan irama yang khas. Melodinya romantis disertai dengan varian not yang anti-mainstream. Bergerak melipir di not-not rendah lalu meloncat tinggi satu oktaf; itulah ciri khas Payung Teduh. Namun lagu berjudul "Akad" agak berbeda. Jika saya sering mendengar unsur keroncong di lagu-lagu sebelumnya, kali ini Payung Teduh terdengar begitu nge-jazz.

"Akad" bisa jadi hadir dengan kontroversi karena muatan lirik, judul, dan video klip-nya. Kenalan saya mengatakan liriknya tidak bisa dimengerti dan jalan cerita video klipnya tidak jelas.

Lebih buruk lagi, beberapa media mengutip kritik terhadap lirik "Akad" yang katanya mengalami penurunan kualitas. Sedangkan di bagian judul lagu, menunjukkan pertanda libido anak muda yang nafsu mau nikah, dsb.

Tapi bagi saya, lirik lagu ini justru membangkitkan kisah romansa kedua orang tua saya yang sering mereka sampaikan jika ada waktu berkumpul bersama keluarga. Kisah mereka tersimpan baik di memori pikiran anaknya ini dan menguar seketika saat lirik terbaru band Payung Teduh mengalun dengan dinamika lembut.

Ode Untuk Romansa Ayah-Bunda

Meski sering berbantah-bantahan saat bercerita, satu yang pasti : Nyonya keluarga kami tidak pernah sekalipun bertemu suaminya kala ia masih muda. Ketemunya, ya pada saat di pelaminan.

Ibu saya terkenal manis; maka dari itu ia dijuluki Te'ne yang dalam bahasa Luwu berarti "gadis manis". 

Saat hendak merantau ke ibukota, ia pernah berpesan kepada pria yang pernah menjadi pujaan hatinya untuk segera melamar jika memang sekiranya serius. Tujuannya datang ke Jakarta memang untuk mengadu nasib. Namun justru nasib lain tak dapat dihindari : ibu saya bertemu jodoh yang sesungguhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline