Lihat ke Halaman Asli

Sandy Gunarso

Praktisi Komunikasi

Polisi Sahabat Rakyat Indonesia

Diperbarui: 14 November 2023   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagian orang memadang rendah profesi sebagai polisi. Mungkin pandangan itu ada benarnya mengingat banyak sekali oknum polisi yang bermain nakal di balik seragamnya. Sebut saja ongkos tilang yang dipungutnya dari para pelanggar lalu lintas ringan, seperti tidak menyalakan lampu motor, lupa membawa STNK dan SIM, hingga tidak memasang kembali plat nomor kendaraan saat terjatuh.

Harga nego (istilah warga) bervariasi pada kisaran Rp.50ribu sampai dengan Rp.100ribu tergantung dari pelangaran ringannya saat dilakukan tindakan tilang. Kelakuan nakal sejumlah oknum polisi ini juga serta merta diikuti dari sikap-sikap tidak displin warganya. 

Tarif tersebut keluar saat warga tidak ingin menjalani sidang tilang di pengadilan tinggi setempat. Sebagian dari mereka berpikir bahwa menjalani sidang jauh lebih rumit dan memakan waktu dibandingkan dengan membayar sejumlah  uang di lokasi penilangan.

Lantas, pertanyaannya adalah, mengapa kedua instansi tidak membuat sebuah sistem tilang elektronik dengan menggunakan QRIS seperti halnya pembayaran makanan dan minuman di banyak lokasi kuliner? 

Rekening QRIS adalah rekening kementerian keuangan sehingga uang tilang itu dapat digunakan untuk membayar utang negara. Sebab, bayangkan saja, jika satu hari pelanggar lalu lintas mencapai 100ribu orang di satu lokasi tilang dengan total uang nego senilai Rp.50ribu, maka total yang dikantongi oknum-oknum polisi itu dapat mencapai Rp.5miliar.

Besarnya uang yang dihasilkan dalam satu kali operasi lalu lintas (belum terhitung yang ilegal) terus mendorong mereka melakukannya setiap hari. Kalau saja negara tegas menetapkan peraturan tilang di tempat dengan QRIS, maka praktik-praktik nakal tersebut dapat diminimalisir dan negara akan terbantu dari pertambahan pendapatan yang berasal dari uang tilang warganya. 

Di sisi lain, upaya tilang QRIS ini juga memberikan efek jera kepada warga. Mengapa begitu? Karena mereka tidak lagi mampu berdalih kepada oknum polisi. Di sisi lain, oknum polisi juga tidak mau untuk melakukan praktik tilang sembarangaan dengan modus aneh-aneh, karena bagi mereka tindakan (giat) penilangan hanya akan melelahkan tanpa rupiah yang banyak.

Penilangan itu memanglah hak kepolisianyang sudah diatur dalam undang-undang negara. Penilangan juga sangat baik untuk mengendalikan kejahatan yang terjadi di suatu wilayah di dalam negara, hanya saja, praktik nakal dari oknum polisi ini yang harusnya juga dikendalikan oleh pemerintah supaya lembaga kepolisian tetap mendapatkan nama baik di tengah masyarakat. 

Lalu, pertanyaan berikutnya adalah, apakah diijinkannya kembali tilang manual supaya para oknum petinggi kepolisian mendapatkan upeti rupiah dari sejumlah giat yang dilakukan oleh oknum polisi bawahannya?

Akar permasalahan inilah yang harus diperbaiki bersama oleh pihak-pihak yang berwenang. Bisa terjadinya pungli berdalih tilang, memungkinkan adanya praktik-praktik lain sebagai penyertanya, seperti praktik kewajiban setor dari hilir ke hulunya, dan lain sebagainya. 

Jelas bahwa bawahan akan menuruti perintah atasan pada sistem komando terpusat. Jelas juga bahwa bawahan akan menuruti atasan karena ketakutannya dipecat, dimutasi, atau lain sebagainya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline