Tak hanya bagi masa-masa pertumbuhan anak, perceraian juga dinilai dapat meninggalkan dampak negatif bagi semua anggota keluarga, seperti perasaan trauma, marah, kecewa, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah selalu berdampak seburuk itu?
Dampak perceraian seringkali dikaitkan dengan kesan yang buruk. Seperti berdasarkan beberapa riset, 25% dari jumlah anak hasil perceraian ketika memasuki usia dewasa awal memiliki masalah serius secara sosial, emosional atau psikologis ketimbang 10% dari anak yang mempunyai orangtua masih tetap bersama.
Beberapa penelitian lebih berani mengungkapkan bahwa anak yang memiliki orangtua bercerai memang lebih berisiko mengalami perceraian di masa dewasanya. Namun, ini belum jelas apakah perceraian disebabkan oleh masalah mereka sendiri atau memang konflik orangtua berdampak sangat besar terhadap hubungan anak-anaknya di masa depan.
Untuk memastikan, Constance Gager, seorang peneliti dari Montclair State University di New Jersey dan rekan-rekannya menganalisis hasil survei nasional yang melibatkan hampir 7.000 pasangan menikah beserta anak-anak mereka di Amerika Serikat.
Hasilnya, anak-anak yang dibesarkan di dalam lingkungan orangtua yang sering bertengkar dan akhirnya bercerai, justru mereka memiliki hubungan lebih baik di usia dewasanya kelak, dibandingkan dengan anak-anak di dalam lingkungan orangtua yang sering bertengkar tapi tidak memutuskan bercerai.
Penelitian ini telah memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan anak ketika menginjak usia dewasa. Contohnya, apakah anak-anak cenderung mengalami kesulitan bergaul dengan orang lain atau tidak.
Sebagai seorang anak dari korban perceraian orangtua sejak di bangku sekolah dasar, saya merasa perlu untuk sedikit mengungkapkan masalah ini. Memang, ketika pertama kali melihat topik pilihan bertemakan "MENYIKAPI SITUASI SETELAH PERCERAIAN" yang disediakan Kompasiana, seakan saya ingin berteriak kencang-kencang, "Kesempatan nih keluarin unek-unek!". Dalam artian, saya ingin menumpahkan segala keluh kesah ketika menjadi seorang anak korban broken home.
Namun, apa yang akan saya dapatkan dengan hanya meratapi sesuatu yang sudah berlalu begitu lamanya, dan akan terus berlalu selama-lamanya, sedangkan kehidupan akan terus berjalan untuk membagi-bagikan anugerah dan kebahagiaan kepada orang yang mau menerimanya. Saya malah rugi berganda: mendapat energi negatif dan kebahagian hilang.
Menyadari bahwa ternyata saya mampu melewati salah satu masa yang menurut sebagian pihak "paling traumatis" itu hingga menjadi diri saya yang sekarang, merupakan sedikit hal yang dapat saya banggakan.