TANAH LUWU -- Mesin pabrik terdengar menderu dari areal perkebunan kakao di sudut Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, pertengahan Agustus 2010. Haji Baharudin Iskandar, si pemilik pabrik, baru saja menjalankan mesin pabrik pengolahan kakao itu tepat pukul 08.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Pabrik pengolahan kakao milik Haji Rudi, panggilan karib Baharudin, merupakan satu-satunya pabrik pengolahan kakao di Luwu Utara. Lokasi pabrik ini cukup jauh dari Kota Makassar. Pabrik seluas 680 meter persegi yang berlokasi di Jalan Lamaranginan Topangi Indah, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, ini berdiri di atas lahan seluas dua hektare.
Dari Makassar, pabrik ini berjarak sekitar 550 kilometer (km) arah utara. Waktu tempuhnya bisa mencapai setengah hari atau 12 jam perjalanan darat. Tapi jika ingin jalur cepat, pengunjung bisa menggunakan fasilitas penerbangan lokal Makassar–Luwu Utara yang berjarak tempuh hanya sekitar dua jam.
Namun, pesawat tersebut hanya beroperasi sebanyak dua kali dalam sepekan. Sebenarnya, belum lama pria berumur 42 tahun ini aktif mengolah kakao . Dia baru serius menekuninya sejak Agustus tahun lalu dengan mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sibali Resoe.
Sebelum terjun mengolah kakao , putra asli Luwu Utara ini memang telah akrab dengan komoditas tersebut. Maklumlah, selama ini Rudi terbilang sukses menjadi petani dan pedagang pengumpul kakao. Rudi menjadi petani kakao sejak 1987. Lantaran usahanya terus maju, tiga tahun kemudian, dia naik kasta menjadi pedagang pengumpul.
Dia terjun langsung menjemput kakao dari perkebunan-perkebunan rakyat. Wilayah kerjanya di sekitar Luwu Utara, mulai dari kawasan Pongo, Salulemo, Masamba, hingga Malangke. Rudi bersemangat membesarkan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan. Maklumlah, tanah Celebes merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia. “Kita sebenarnya bisa mengolah cokelat sendiri, kenapa harus dibawa keluar?” ujarnya.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan pada Juli 2010 menunjukkan, perut bumi Sulsel ini menghasilkan 25,15% biji kakao dari total produksi kakao nasional sebanyak 421.142 ton per tahun. Hampir 100% produksi kakao nasional membidik pasar ekspor. Perinciannya, 80% kakao diekspor dalam bentuk biji dan sisanya, 20%, kakao diekspor dalam bentuk setengah jadi.
Kendati produksi kakao di Sulsel cukup berlimpah, jangan heran apabila perusahaan yang berinisiatif mengelola komoditas tersebut di dalam negeri bisa dihitung dengan jari. Kemampuan industri nasional – termasuk di Sulsel – memang masih tergolong rendah untuk mengolah kakao . Dari 250.000 ton kapasitas terpasang, industri baru bisa memaksimalkan produksi setengahnya saja, yakni 125.000 ton per tahun.
Kondisi ini membangkitkan semangat orang Sulsel untuk menciptakan nilai tambah pada produk kakao. Salah satunya mewarnai KUB Sibali Resoe yang memproduksi aneka cokelat batangan dan cokelat bubuk. Saat ini produksi cokelat di pabrik Rudi memang masih minim, baru sebanyak 25 kilogram (kg) per hari atau 750 kg per bulan. Jumlah itu sesuai dengan kemampuan produksi dari pabrik tersebut. Padahal, pasokan biji kakao ke pabrik ini lumayan besar, yakni mencapai 14 ton per bulan.
Komoditas sebanyak itu dipasok oleh sedikitnya 200 petani kakao di Luwu Utara yang sudah menjalin kemitraan dengan KUB Sibali Resoe. Jadi, selain sibuk merintis pabrik pengolahan cokelat, Rudi masih tetap rutin menjual mayoritas biji kakao tersebut kepada para eksportir. Sampai kini dia masih berusaha memaksimalkan kapasitas pabrik pengolahan kakao agar petani kakao Sulsel mendapatkan nilai tambah.
Rudi juga menularkan pengetahuan dia kepada para petani. Misalnya, KUB Sibali Resoe siap menampung biji kakao hasil fermentasi. Petani pun termotivasi menciptakan nilai tambah bagi produk kakao . Harga jual biji kakao hasil fermentasi lebih mahal ketimbang tanpa fermentasi.