Lihat ke Halaman Asli

Oksand

Penulis Storytelling dan Editor

Ini Perbedaan Birokrasi Pembuatan Dokumen di Era Dada Rosada dan Ridwan Kamil

Diperbarui: 30 November 2016   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: tribunnews.com

Dulu saya membuat notes tentang masalah ini, terutama pembuatan kartu keluarga tahun 2012, setelah anak pertama lahir. Tahun itu, Wali Kota Bandung adalah Dada Rosada. Segala keluh kesah perihal pembuatan KK saya tumpahkan di situ, dan ternyata berguna, waktu saya lagi berproses menjalani hal itu lagi kedua kalinya.

Kali ini, pada saat kepemimpinan Ridwan Kamil, saya mengajukan untuk memproses tiga dokumen sekaligus:

  1. E-KTP istri (karena masih pakai yang laminating, alias tidak terdaftar di RT waktu pembuatan eKTP massal, padahal KTPnya sudah Bandung),
  2. Kartu Keluarga, menambahkan anggota keluarga setelah lahiran anak kedua. Dan sebagai syarat juga untuk pembuatan akte lahir,
  3. Akte kelahiran.

Awalnya sempat pesimis, bisa gak tiga dokumen diurus sekaligus? Urus sendiri atau titip pak RW ya? Akhirnya, demi menjajal kinerja birokrasi di Bandung untuk urusan begini di periode Ridwan Kamil, saya ambil cuti dua hari, mumpung 9 Maret 2016 tanggal merah. Hari Nyepi. Gerhana matahari total juga terjadi hari ini, pukul 7.30 pagi tadi.

Sebelumnya di 11 Januari 2016
Saya ke Bandung untuk minta surat pengantar RT untuk pembuatan e-KTP istri, karena katanya pengurusan akte kelahiran harus sudah ber e-KTP, bukan KTP lama yang masih dilaminating. Surat pengantar RT pun didapat, dicap, ditandatangani. Berikutnya, mencari Pak RW. Di rumahnya gak ada. Kata warga, mungkin di warung beras. Nihil juga. Akhirnya, tunda. Susahnya cari pak RW....

Minggu, 6 Maret 2016
Kembali mendatangi rumah Pak RT. Kali ini minta pengantar KK dan akte sekalian. "Lho, dulu teh bukannya udah ke sini?" tanya Pak RT heran.
"Iya pak dulu untuk e-KTP, dan Pak RW nya gak ketemu. Sekarang untuk KK dan akte", kata saya menjelaskan.

Surat pengantar bisa sekaligus untuk beberapa hal, termasuk KK dan Akte. Begitu beres dari Pak RT, saya tanya posisi Pak RW. Ternyata ada opsi lokasi lain untuk mencari beliau: Posyandu baru! Saya pun langsung jalan cepat menuju rumah RW dulu, gak ada. Warung beras, kosong juga. Posyandu Dago pojok, ada!!! Alhamdulillah.

Langsung saya minta cap dan tanda tangannya. Pak RW lalu memberi petuah, "Sekarang mah antri kudu ti pagi, nomor antrian nangan saratus. Kadang geus ti pagi ge tos seep. Terus perlu saksi dua orang untuk akte, tapi diditu ge aya saksi mah." Waduh, ngantri dari pagi juga gak dapet nomor? Hanya 100 per hari? Ah, jajal aja! Bismillah.

Senin, 7 Maret 2016
Antara semangat dan tidak. Karena sudah terbayang proses administrasi yang jelimet. Titip atau jangan. Akhirnya, jam 8.30 berangkat ke kelurahan.

Sampai kelurahan ternyata kosong, gak ada antrean. Rezeki. Langsung ajukan permohonan pembuatan eKTP, KK, akte. "Ooh bisa, sadayana weh dokumenna," kata ibu petugas. "Saya tinggal atau gimana ya, Bu?" Karena takut makan waktu lama biasanya.

"Nteu, tungguan weh." Wihh? Luar biasa nih, bisa ditunggu? Si ibu petugas lalu memanggil untuk fotokopi berkas e-KTP untuk arsip di kelurahan. Hanya habis Rp 1000 untuk 5 lembar. Lalu beberapa saat ibu petugas memanggil lagi. "Ini difotokopi juga satu kali," kali ini habis Rp 2000 saja. Berkas KK dan akte lebih banyak. Pesan ibu petugas, akta nikah fotokopi juga bagian tandatangan KUA jangan tanggung-tanggung kalau fotokopi. Bawa KK yang asli ke kecamatan. Noted with many thanks!!!

Total waktu di kelurahan: 75 menit, sudah termasuk fotokopi. Menurut saya ini: sebuah improvement! Jam 9.45 kelar semua urusan di Kelurahan Dago. Cusss ke Kecamatan Coblong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline