Bantargebang disebut sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di Asia. Tempat pembuangan sampah ini membentang lebih dari 100 hektar dan mencapai ketinggian hingga 50 meter. Faktanya, angin yang bertiup dari TPST Bantargebang akan tercium baunya bahkan hingga 15 kilometer lebih jauh. Hal tersebut mempengaruhi setiap orang dalam lingkaran raksasa terutama di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Sampah - sampah yang diterima oleh TPST Bantargebang mayoritas didapatkan dari daerah Jakarta itu sendiri. Setiap harinya TPST Bantargebang menerima sampah sebanyak 7.000 - 8.000 ton sampah setiap harinya. Melihat dari saluran youtube channel The Lost Boys yang berjudul "The TRUTH Behind One Of THE WORLD'S LARGEST LandFills" mereka meliput mulai dari bagaimana masyarakat setempat bertahan hidup di daerah Bantargebang, seperti pengemudi truk, pemulung, juga pengolah sampah di sana. Tanah yang diinjak pun sudah dipenuhi oleh sampah yang berserakan dan saling menumpuk. Terlihat pemandangan rumah - rumah masyarakat yang tak tersusun rapih juga bau yang mulai menyengat dimana - mana. Beberapa masyarakat mengatakan mereka sudah terbiasa dengan lalat - lalat yang beterbangan dan maggot. Makanan sisa yang ditemukan diantara tumpukan sampah pun masih dapat diolah oleh beberapa masyarakat setempat. Secara tidak langsung, dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekitar Bantargebang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan milyaran sampah, lalat, bau busuk, dan beberapa hal lainnya yang dapat membuat rasa tidak nyaman dan membahayakan kesehatan manusia itu sendiri.
Tumpukan sampah juga menghasilkan gas metana. Pak Adi sebagai supir truk eskavator mengatakan bahwa ketika musim hujan daerah TPST Bantargebang lebih berbahaya dan menghasilkan gas metana lebih banyak. Tentu sangat membahayakan entah bagi para pekerja, masyarakat, juga keberlangsungan TPST Bantargebang tersebut.
Bantargebang berawal dari sebuah kampung yang kemudian menjadi kecamatan di Kota Bekasi. Bantargebang juga dikenal sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, yang dibangun sebagai solusi atas penanganan krisis pengelolaan sampah di Jakarta. TPA Bantargebang mulai beroperasi pada tahun 1989. Awalnya, tanah tersebut digunakan untuk kepentingan proyek properti di Jakarta seperti Sunter Podomoro serta Kelapa Gading di Jakarta Utara. Lalu, terjadilah pembelian tanah oleh Pemerintah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Soeprapto untuk menjadikan lahan properti seluas 100 hektar tersebut untuk dipergunakan sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Bantargebang memiliki 5 zona pembuangan sampah yang terdiri dari:
1. Zona I seluas 18,3 hektar
2. Zona II seluas 17,7 hektar
3. Zona III seluas 25,41 hektar
4. Zona IV seluas 11 hektar
5. Zona V seluas 9,5 hektar