BEREBUT TANAH - Episode #10 Ekspedisi Indonesia Baru
Ekspedisi Indonesia Baru telah usai menuntaskan perjalanan keliling Indonesia dengan sepeda motor selama 424 hari. Selama perjalanan, tim ekspedisi mengunjungi 120 kota di 26 provinsi. Mereka juga mengunjungi titik terbarat di Pulau Weh, Aceh, dan titik paling timur di Jayapura, Papua.
Pada kali ini kita akan mengulas ekspedisi yang dilakukan oleh 4 jurnalis dari 4 generasi ini selama melakukan perjalanan mengembara ke Bali dan Papua. Tim yang beranggotakan Yusuf Priambodo (Millenial), Farid Gaban (Boomer), Dandhy Laksono (Gen X), dan Benaya Harobu (Gen Z), akan merekam indonesia dari berbagai sisi, terutama mewakili suara dari kaum yang termarjinalkan. Mengulik konflik tanah yang terjadi di Papua juga di Bali. Bak tuan rumah yang terusir dari rumahnya sendiri oleh para penguasa yang datang dari asing.
Ketidakberdayaan Masyarakat Papua di Tengah Dominasi Perusahaan Besar
Investigasi dilakukan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh tim jurnalis seperti kendaraan yang ditumpangi pada saat menuju pedalaman Papua diledakkan menggunakan bom molotov oleh pelaku yang tidak ditemukan sampai saat ini. Kejadian tersebut terbilang menjadi ucapan selamat datang yang mencurigakan dari warga lokal atas kedatangan orang - orang dari luar daerah Papua.
Distrik Kaoreh, Papua menjadi destinasi pertama dari ekspedisi ini. Sudah 30 tahun warga Distrik Kaoreh hidup berdampingan dengan sebuah perusaan kelapa sawit seluas 134.000 hektar, dari angka tersebut terhitung sebesar 31.000 hektar lahan plasma alias hak warga. Tanah adat Suku Aore dan Suku Masita termasuk pada lahan plasma. Masyarakat setempat menyuarakan atas hak - haknya dan perjanjian dengan pihak perusahaan yang sebelumnya sudah disepakati seperti mitra kerja, juga kebutuhan masyarakat lainnya akan tetapi murni sampai saat ini masyarakat tak kunjung menerima apa - apa.
Pribumi mendapatkan sikap diskriminasi dari para pihak industri. Sementara, perluasan lahan kini menjadi permintaan perusahaan yang mendesak masyarakat. Perusahaan juga mengambil humus dari tanah masyarakat di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Luasnya tanah kelapa sawit seharusnya memberikan lapangan pekerjaan bagi para masyarakat. Akan tetapi, setelah pribumi kehilangan hutan dan tempat berburu mereka tidak mempunyai kekuasaan atas apapun. Pihak perusahaan tidak menoleransi kesalahan apapun yang dilakukan oleh pekerja dari Papua. Perusahaan besar kelapa sawit tersebut lebih memilih mempekerjakan karyawan dari luar daerah Papua, dan meminimalisir para pribumi. Fasilitas yang seharusnya didapatkan masyarakat Papua ditemui di Distrik Kaoreh, salah satunya sekolah sebagai tempat mengenyam pendidikan. Namun, mayoritas anak - anak di sana tidak bersekolah karena permasalahan ekonomi yang harus dihadapinya.
Kerusakan hutan yang terjadi sudah mencapai skala yang besar. Masyarakat Papua sudah menyuarakan suaranya agar perusahaan berhenti beroperasi akan tetapi semuanya sia - sia. Perusahaan kelapa sawit masih tegak berdiri sampai saat ini. Illegal logging atau penebangan liar juga ditemukan di hutan ini. Kayu yang diambil dalam jumlah yang besar, lalu diperjual belikan sehingga diangkut menggunakan mobil container merugikan hutan. Peti kemas yang berisikan kayu - kayu sampai di Kota Jayapura lalu mengarah ke pelabuhan untuk dikirim ke Surabaya, Makassar, Jakarta, bahkan ke luar negeri.
Lonjakan Harga Tanah di Bali dan Industri Pariwisata Masalnya