Lihat ke Halaman Asli

Bilhaq Sandra

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Suara Tajam yang Mengagumkan

Diperbarui: 6 Februari 2022   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menghabiskan novel dan buku bacaan yang tertimbun sejak setahun silam menjadi kebiasaan baru untuk membuka awal tahun ini. Besaran gairahku dalam membaca buku linear dengan besaran gairahku dalam menulis (entah sekadar lagu, puisi, cerita biasa, bahkan jurnal ilmiah sekalipun). 

Dua produktivitas ini dapat melampiaskan perihal rindu hebat kepada Bara yang menjadi biang sakit kepala setelah membaca berita tentang hipokrisi dalam otoritarianisme minggu ini. Apalagi, dalam sebulan ini, aku tidak menyentuh Klaviera, piano yang aku tinggalkan di kos-kosan.

Dari layar kaca televisi, aku melihat sosok laki-laki muda berulang menggertak dalam suatu perdebatan sengit dengan para petinggi. Mereka duduk disejajarkan dengan salah satu wartawan senior pujaan pemuda, Najwa Shihab. Kalau kau menonton serial "korupsi" dalam Mata najwa, kau akan menemukannya sebagai narasumber kurang lebih sebanyak tiga kali atau lebih (aku lupa berapa tepatnya). Sah-sah saja kalau aku mengidolakan orang lain atas tulisan dan suara lantangnya sebagai catatan kritis kepada para elite politik. Bahkan, menjadikannya role model pergerakan setelah Najwa Shihab.

Ia duduk dengan tenang, memakai kemeja batik yang rapi, menyerang argumen patah seorang pejabat yang terlihat ingin mengamankan nama dan kedudukan dengan tipu muslihat menjual bualan demokrasi. 

Sesekali, ia membenarkan posisi kaca mata yang sedikit turun sambil membacakan hasil riset yang faktual. Membangunkan rasa penasaran atas sisi lainnya, berapa jam ia tidur dalam sehari kalau kerjaannya menyibak kuat-lemah lawan bicaranya?

Setelah pertarungan sengit berlalu, namanya melintasi beranda sosial media. Ia selalu diburu oleh wartawan-wartawan dari stasiun TV dan koran-koran nasional di Indonesia. Kalau beritanya sudah muncul di permukaan, menjadi highlight dalam portal berita kondang, aku membacanya paling awal. Bahkan, aku juga rajin ikut seminar nasional yang mengundangnya sebagai pembicara.

Perasaan apa yang muncul, ya? Bukan kangen-kangenan seperti halnya kepada Bara, namun terkagum-kagum atas kegigihannya menegur keras "mereka yang rakus menguras anggaran negara dengan dalih uang saku untuk transport dan konsumsi". Jangan-jangan membeli Sepeda Brompton untuk gaya-gayaan di Jalan Sudirman saat car free day? Atau persiapan membeli Mercy untuk jalan-jalan di Ibu Kota Negara yang baru? Aku ingin mendengar suara tajam dari pemuda yang berulang-ulang menggaungkan, "Anti Korupsi, Anti Penindasan".

Biasanya, setelah pemuda itu habis-habisan bertarung dengan para autokrat-hebat, aku akan membuka percakapan dengan Bara di warung kopi favorit. Paling-paling Bara hanya mendengarkan sambil menghisap sigaretnya. Memang ia selalu terlihat serius menyimak, namun sepertinya Bara tidak terlalu tertarik pada topik pemuda yang ambisius itu. 

Dia lebih suka membicarakan kisah-kisah kepemimpinan otoriter-lampau atau hal-hal filosofis yang jelas-jelas bukan menjadi urgensi untuk diresahkan sekarang ini. Tapi, kembali aku sampaikan bahwa Bara ini pandai sekali mengemas kata-kata, juga menerapkan teori dalam dialog. Membuat siapa saja terbius untuk mendengarkan sudut pandangnya sampai ke titik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline