Lihat ke Halaman Asli

Turun Mana, Mbak?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Turun mana mbak?” Tanya sopir angkot. Hari sudah malam. Dan aku penumpang satu satunya. “Di RS, pak”. Angkutan kembali melaju. Pelan seperti biasa. Sesekali berhenti didepan gang, barangkali ada penumpang. Tapi tak ada. Matanya waspada, melihat lihat apakah ada penumpang atau tidak.

“Kerja di RS ya mbak?” Dia kembali membuka pembicaraan. “iya pak, praktek”. “akbid atau akper?” tanyanya. “oh saya ambil kedokteran pak,” jawabku berusaha sebiasa mungkin. Dia menoleh dan mengangguk sopan kearahku. “oh, dokter”. Nada suaranya berubah. Prestige seorang dokter. Mungkin jarang dia bertemu dokter yang naik angkotnya.

Kemudian dia berpetuah. “nanti kalau udah praktek sendiri mbak, ya jadi dokter yang baik, toh rejeki diatas sudah mengatur, tidak usah mahal mahal, dokter di tempat saya…..” dan seterusnya. Aku hanya menimpali dengan “oh iya pak”, “inggih…”, sementara dia menceritakan dokter kebanggaan di kampungnya sana, yang konon katanya, praktek dari sore sampai tengah malam, pasien datang terus tidak berhenti.

Mungkin hanya akan menjadi percakapan yang biasa, kalau dia tidak melanjutkan kalimat berikut, “saya dulu mbak, SPK, sekolah perawat tahun 1985, tapi kan dulu pake system gugur to mbak, jadi begitu tidak lulus, langsung dikeluarkan”. Dan saya hanya bisa mengangguk.

Laki laki separuh baya dihadapan saya adalah calon perawat dulunya, dan nasib kemudian menjadikan dia supir angkot selama bertahun tahun. Dulu dia pernah bercita untuk menjadi tenaga kesehatan seperti saya, bekerja di rumah sakit, membuka praktek di rumah, menerima gaji tetap tiap bulan, dan masih ada bayaran ini itu dari jasa medis di luar dinas di RS. Kalau saja dia tidak dikeluarkan.

Dan jalan hidup membawa dia ke sini. Menjadi supir angkot. Yang harus bangun pagi sekali, menyusuri jalan yang sama setiap hari. Jika dingin sangat kedinginan, jika panas, alangkah menyengat. Berlomba dengan sesama teman mencari satu dua ribu rupiah. Jaman semakin maju, sepeda motor semakin murah, dan penumpang angkot semakin langka sedangkan sopir angkot bertambah jumlahnya. Setoran ke juragan naik terus, bensin naik, anak mau sekolah, orang tua sakit, ohh life.

Jadi disinilah dia, seorang bapak berusia sekitar 40 tahun, mengendarai angkot yang sepi penumpang, jam 8 malam masih mencari satu dua ribu, yang dulu pernah bercita cita jadi perawat.

Sehingga malam itu, saya hanya tertegun dan merenung di sepanjang sisa perjalanan saya di angkot. Bapak itu, sudah memberi satu lagi pelajaran hidup. Tentang bagaimana tetap tegar, berjuang, walau nasib tidak berkawan.

Pada hari itu, saya belajar untuk lebih membuka mata terhadap kehidupan disekitar saya. Termasuk kehidupan supir angkot. Kita atau saya, kalau membeli baju, tas, sepatu tidak perhitungan mengeluarkan lembaran seratus ribu, tapi kalo bayar angkot, tega memberi recehan pas. Jika membayar 3000 kita akan menunggu dengan sangat sabar, sampai si supir angkot memberi kembalian 500, padahal kalo ngopi sama teman, dengan makan snack di café seharga 20000 rasanya tidak pernah mikir rugi.
Di angkot, kita sering tak sabar, maunya cepat sampai, memaki supir dalam hati, tanpa kita mengerti kebutuhan mereka akan satu dua ribu itu. Akan tuntutan hidup mereka yang tidak sedikit.

Mungkin, sudah sepantasnya saya lebih lagi menghargai supir angkot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline