Lihat ke Halaman Asli

Sandra Suryadana

TERVERIFIKASI

30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

"Mary Shelley", Prestasi Penulis Perempuan di Dunia Laki-laki

Diperbarui: 31 Desember 2018   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: fortune.com

Pertama kali saya mengenal nama sederhana ini adalah melalui sebuah kuis pengetahuan umum yang dibawakan oleh Helmi Yahya. Pada saat itulah, saya baru mengetahui bahwa novel legendaries Frankenstein ditulis oleh seorang perempuan.

Tahun 2017, kisah hidupnya ditampilkan dalam sebuah film berjudul sesuai dengan namanya. Sungguh, kisah hidupnya membuka mata saya. Selama ini saya, mungkin juga sama seperti sebagian besar warga bumi lainnya, disilaukan oleh kejayaan tokoh monster ciptaan Victor Frankenstein, sampai lupa pada sosok "ibu" yang melahirkan mereka. Sangat mungkin, ini disebabkan karena Mary Shelley sama sekali bukan sosok yang patut diteladani. Kisah hidupnya penuh dengan skandal, bahkan Mary dapat dikatakan "wanita liar" pada zamannya, pada zaman now ia akan disebut "pelakor".

Mary Shelley lahir dengan nama Mary Wollstonecraft Godwin, putri dari dua orang penulis terkenal pada zamannya, William Godwin dan Mary Wollstonecraft. Ibunda Mary yang bernama sama dengannya adalah seorang feminis yang sering menuangkan aspirasinya lewat buku-bukunya. Ia meninggal tidak lama setelah melahirkan Mary. Mary kecil tumbuh dan menenggelamkan diri dalam begitu banyak karya tulis termasuk tulisan-tulisan ibunya sebagai upayanya untuk bisa merasakan kedekatan dengan ibunya.

Mary pun sejak kanak-kanak memiliki passion yang sangat besar untuk menulis namun ia merasa tidak bisa leluasa menulis di rumahnya bersama ayahnya dan istri barunya. Pada usia 16 tahun Mary melarikan diri bersama Percy Shelley, seorang pria beristri dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.

Mary mendapatkan kebebasan yang ia inginkan. Tetapi tentunya tidak ada kebebasan yang gratis. Hidup Mary sangat kacau, selalu berpindah-pindah karena dikejar-kejar hutang, kadang tinggal di tempat yang kumuh, kadang bisa tinggal di tempat mewah berkat menumpang hidup pada orang lain. Belum cukup, Mary harus kehilangan anaknya yang masih bayi. Semuanya terjadi bahkan sebelum usianya 17 tahun.

Karena begitu banyaknya beban yang harus ditanggung dalam usia semuda itu, Mary sering dihinggapi mimpi buruk. Mimpi buruk itu begitu mengganggu tetapi juga menjadi berkah bagi Mary. Mary menuliskan semua mimpi buruk dan kegelisahannya dalam tulisan, dipadukan dengan kekagumannya pada dunia sains yang baru berkembang. Maka pada usia  Mary 18 tahun, novel Frankenstein rampung.   

Tetapi kisah sesungguhnya justru terjadi setelahnya. Mary, percaya diri dengan hasil karyanya, berkeliling negeri untuk mencari penerbit yang berminat menerbitkan novelnya. Tidak ada satupun yang mau. Ini tentu sudah jadi cerita biasa bagi para penulis. Saking biasanya, kita tidak lagi bertanya "kenapa?"

Novel Frankenstein selalu ditolak dengan berbagai alasan basa-basi padahal intinya adalah karena Mary Shelley seorang perempuan. Buktinya, setelah Mary setuju untuk tidak mencantumkan namanya, satu penerbit mau menerbitkan novelnya. Penerbit tersebut meminta Percy Shelley menuliskan kata pengantarnya, agar pembaca berasumsi bahwa Percy Shelley-lah penulis novelnya. Baru setelah novelnya laris manis pada cetakan pertama, nama Mary Shelley akhirnya boleh dicantumkan sebagai penulis pada cetakan kedua dan seterusnya.

Sungguh suatu hal yang aneh bahwa pembaca menilai suatu novel dari gender penulisnya. Apakah bisa dimaafkan ketika hal seperti ini terjadi pada zaman Mary Shelley hidup? Pada awal abad 19 ketika itu, dunia literatur didominasi, bila tidak ingin dikatakan dimonopoli, oleh laki-laki. Tetapi kenyataannya, di zaman sekarang pun, penulis perempuan masih mendapatkan ketidakadilan perspektif dari masyarakat. Joanne Kathleen Rowling, penulis terkaya sepanjang masa, sengaja menulis namanya sebagai J.K.Rowling agar bernuansa laki-laki. Bila dari awal ia menulis nama lengkapnya, apakah kesuksesannya akan sama? Bila tokoh utama novelnya adalah perempuan, apakah kesuksesannya akan sama? Di dunia ideal, seharusnya sama.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber sejak tahun 1950, nyata bahwa baru mulai tahun 1990 ada keseimbangan gender pada penulis di Amerika Serikat, itupun dengan perkecualian di genre-genre tertentu, seperti genre romansa didominasi oleh perempuan dan genre science fiction didominasi oleh laki-laki. Mungkin inilah yang membuat novel Frankenstein begitu luar biasa karena merupakan novel kombinasi science fiction-horor-romansa yang ditulis oleh seorang perempuan remaja. Bahkan Frankenstein bisa dikatakan sebagai salah satu novel science fiction pertama.

Mari kita berkaca pada negara kita tercinta ini. Syukurlah, di Indonesia penulis perempuan Indonesia jauh lebih banyak daripada laki-laki dan novel karya penulis perempuan lebih banyak terjual daripada penulis laki-laki (sumber: cnnindonesia). Lebih maju dong kita? Hehe, tidak juga. Ini alasannya:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline