Lihat ke Halaman Asli

Sandra Suryadana

TERVERIFIKASI

30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Jo Min Ki Bunuh Diri, Apakah MeToo Sudah Keterlaluan?

Diperbarui: 11 Maret 2018   13:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

source: channelnewsasia.com

Pagi ini saya membaca berita menyedihkan. Aktor Korea Selatan, Jo Min Ki, meninggal dunia akibat bunuh diri tanggal 9 Maret lalu. Jo Min Ki ditemukan tewas oleh istrinya di tempat parkir. Jo Min Ki merupakan salah satu dari lusinan public figure Korea Selatan yang diserang tuduhan pelecehan seksual setelah merebaknya kampanye MeToo di Korea Selatan sejak Januari lalu. Jo Min Ki dilaporkan oleh setidaknya 8 perempuan yang pernah menjadi korbannya, awalnya dia menyangkal tetapi kemudian tanggal 27 Februari mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada semua korban. Setelah itu, Jo Min Ki, dipecat oleh agensi dan universitas tempat dia mengajar, gelar guru besarnya dicabut dan dia mengundurkan diri dari serial TV yang sedang dia perankan.

Sebelum Jo Min Ki, kampanye MeToo sudah terlebih dulu meminta korban dari aktris pelopor kampanye MeToo, Rose McGowan. Jill Messick, mantan manager Rose McGowan, bunuh diri tanggal 8 Februari lalu setelah Rose McGowan menyeretnya dalam tuduhan pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein tahun 1997. Saat itu Jill adalah manager Rose, Rose menuduh Jill berkhianat, berpihak pada Weinstein, mengatur pertemuan antara Rose dengan Weinstein di hotel di mana Weinstein melecehkan Rose dan beberapa "negosiasi" agar Rose bisa mendapatkan pekerjaan di Miramax, perusahaan Weinstein. Jill tidak pernah berkomentar terkait tuduhan tersebut sampai akhirnya memutuskan bunuh diri.

Saya sungguh ikut bersedih mengenai tragedi ini, doa terbaik dan empati terdalam saya untuk keluarga yang ditinggalkan. Saya yakin kampanye MeToo sama sekali tidak pernah direncanakan untuk menghabisi nyawa orang lain. Saya termasuk salah satu yang sangat mendukung kampanye ini. Saya pribadi tidak pernah menduga bahwa akibatnya akan sebesar dan semengerikan ini.

Sejauh ini baru dua orang di atas yang tercatat meninggal bunuh diri akibat kampanye MeToo. Tapi siapa yang tahu, sudah ada berapa banyak orang yang berencana atau sekedar berpikir untuk bunuh diri? Berapa banyak laki-laki yang sekarang jadi takut berdekatan dengan perempuan? Apakah kampanye ini sudah melewati batas, sudah keluar dari tujuan awalnya untuk memberi perempuan kesempatan bersuara, malah menjadi momok bagi para laki-laki?

Media di luar negeri sudah memprediksi terjadinya hal ini, laki-laki mulai berpendapat bahwa kampanye MeToo yang disuarakan terlalu berlebihan dan tidak proporsional justru akan melemahkan kampanye tersebut karena justru akan membuat kerusakan baru alih-alih lebih cepat mencapai tujuan. Lalu mulailah perdebatan baru lagi, pendukung MeToo langsung bersikap defensif, berargumen berapa banyak perempuan korban pelecehan yang sudah bunuh diri, yang tidak hanya harus menanggung sakit secara fisik tetapi juga beban mental selama bertahun-tahun karena tidak bisa melapor dan pelaku tidak pernah mendapat hukuman setimpal, belum lagi depresi karena tekanan dari keluarga dan orang sekitar.

Percayalah, perdebatan seperti ini akan berlangsung sangat lama, bisa berubah jadi debat kusir dan akan semakin banyak korban berjatuhan bila laki-laki dan perempuan tidak mau duduk bersama dan mencari solusi.

Kampanye MeToo bisa muncul sebagai akibat perasaan tidak berdaya perempuan atas dominasi laki-laki, di mana dominasi ini disalahgunakan menjadi naked power, laki-laki menganggap perempuan sebagai objek, merasa berhak melakukan apapun pada perempuan termasuk kekerasan dan pelecehan seksual. Dan dominasi ini begitu massif, sistematis dan terstruktur di seluruh lapisan masyarakat sehingga perempuan selalu merasa inferior dan tidak berhak untuk stand up for herself, termasuk bila terjadi kekerasan atau pelecehan seksual pada dirinya.

Rasa muak menahan perasaan ini akhirnya meledak bermanifestasi menjadi kampanye MeToo, ChurchToo, MosqueMeToo, Time's Up, YoTambien, BalanceTonPorc, Ana_kaman dll. Perempuan ingin bersuara dan lebih penting lagi perempuan ingin didengar. Semua kampanye ini hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bahkan akan merusak dan melukai kedua belah pihak bila tidak ada stakeholder yang mau mendengarkan dan mulai mengambil sikap. Stakeholdernya ya kita semua, laki-laki maupun perempuan.

Saya analogikan seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan. Ketika anak itu meminta dengan baik-baik tetapi tidak pernah digubris, meminta lagi, tidak digubris lagi, hanya dijawab "Gak boleh!" tanpa ada penjelasan logis atau solusi yang adil dan realistis, maka suatu hari anak akan meminta dengan berteriak-teriak. Lalu orang tua kaget, kenapa anak ini tiba-tiba jadi agresif, ayah lalu membentak anak itu, ibu jadi depresi. Semakin dibentak, anak malah makin menggila, sekarang dia mulai melempar barang-barang di sekitarnya yang berpotensi melukai orang tuanya dan dirinya sendiri. Masalahnya semakin anak berteriak, semakin kata-katanya tidak jelas, dan semakin orang tua kesulitan mendengar apa yang dia inginkan, solusi akan semakin jauh dari genggaman. Pada akhirnya hanya akan menunggu waktu sampai semuanya lelah, tetapi mainan tetap tidak ada di tangan.

Maka saya setuju dengan yang disampaikan oleh Meghan Markle ketika ditanya pendapatnya mengenai MeToo dalam Royal Foundation Forum 28 Februari lalu. Kampanye MeToo seharusnya bukan menjadi ajang bagi perempuan untuk menemukan suara mereka yang selama ini tidak ada, perempuan sudah punya suara dan aspirasi, ini saatnya bagi perempuan untuk berani menyampaikan suara mereka dan orang-orang perlu mendengarkan.


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline