Lihat ke Halaman Asli

Sandra Suryadana

TERVERIFIKASI

30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Belajar Bersyukur karena Merantau

Diperbarui: 12 Februari 2018   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: thesweetestoccasion.com

Saya tinggal dan tumbuh besar di era 90-an di Tangerang, dalam keluarga ekonomi menengah, di mana semua kebutuhan primer dan sekunder saya terpenuhi dengan sempurna. Saya makan cukup 3x sehari, terkadang diselingi camilan yang bisa saya ambil kapanpun dari lemari es, saya tidur dengan springbed dalam kamar yang dilengkapi AC.

Berangkat ke sekolah diantar ibu saya dengan mobil, saya mudah berkomunikasi dengan teman-teman saya menggunakan telepon dan ketika handphone mulai marak, orang tua saya membelikannya untuk saya juga.

Ketika saya memutuskan untuk merantau ke Papua Barat, saya tahu bahwa saya akan mendapatkan banyak pengalaman menarik dan belajar banyak hal baru. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan belajar suatu hal yang mungkin bagi orang lain sangat sederhana, yaitu bersyukur.

Di Teluk Bintuni Papua Barat tahun 2012, listrik hanya menyala 12 jam dan belum tentu setiap hari. Pertama kalinya dalam hidup saya menyadari betapa saya tergantung pada listrik. Semuanya terasa berbeda ketika tidak ada listrik. Saya mulai menghargai sinar matahari yang masuk lewat jendela kamar saya, saya menikmati udara pagi hari yang segar, bukan yang bercampur hawa AC.

Tidak ada berita dari TV yang padat untuk persiapan memulai hari. Saya menyiapkan sarapan dengan tenang tanpa deru suara blender atau microwave. Mandi pagi dengan air segar tanpa dukungan water heater.

Siang hari, saya duduk-duduk di beranda mess, kadang bersama sejawat lainnya, ngobrol ringan sambil kipas-kipas, menunggu saatnya listrik menyala. Ketika kira-kira pukul 6 sore, listrik akan menyala, seisi mess biasanya langsung bersorak gembira. Bila kita sedang ada di luar, kita bisa mendengar suara anak-anak tetangga bersorak ketika listrik menyala. Semua langsung bangkit mengisi daya handphone dan laptop, menyalakan TV, mulai menyetrika baju, memasak nasi, dll.

Di Jakarta ketika listrik mati 15 menit saja, mungkin layanan konsumen PLN langsung dibombardir dengan telepon keluhan dari sekian banyak pelanggan dan kejadiannya langsung masuk dalam berita. Di Papua, we never take it for granted. Listrik lebih banyak matinya daripada nyala, ketika listrik menyala lebih lama dari yang seharusnya kita justru curiga "Kok belum mati? Ada apa ya? Jangan-jangan besok gak nyala, karena BBM jatah besok sudah dipakai hari ini."

Bila listrik tidak nyala sepanjang malam, kami mengobrol dalam gelap, bernyanyi-nyanyi dan bercanda, atau sekedar duduk di depan mess, menikmati bintang dan bulan. Saya mensyukuri semua itu, saya tidak ingat kapan terakhir kali saya melihat bintang di langit Jakarta.

Dulu saya pasti bersikap sama seperti warga Jakarta yang langsung naik tensi darahnya jika mati lampu tetapi sekarang saya biasa saja, saya tinggal melakukan kegiatan yang tidak menggunakan listrik selama mati lampu, saya tidak mati gaya atau lumpuh, saya justru menggunakan kesempatan itu untuk bersyukur atas listrik yang selama ini ada untuk mempermudah hidup saya.

Begitu juga dengan sinyal. Saat ini peta kebutuhan masyarakat sudah berubah, kebutuhan primer bukan lagi sandang-pangan-papan, melainkan wifi dan charger. Banyak sekali orang kecanduan gadget, gadget harus menempel terus di tangan, gelisah bila batere handphone mulai menipis.

Di Papua, banyak daerah tidak mendapat sinyal, sinyal yang ada pun seringkali tidak stabil. Di kota Bintuni tidak jarang sinyal mati beberapa hari karena maintenance. Satu setengah tahun di sana cukup melatih saya untuk tidak ketergantungan dengan gadget atau sinyal atau charger.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline