Bulan depan, warga Tionghoa di seluruh dunia termasuk di Indonesia akan merayakan Imlek. Imlek alias Tahun Baru Cina atau lebih sering disebut Sincia merupakan hari raya terbesar bagi warga Tionghoa. Di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjelang hari raya ini selalu terjadi migrasi manusia terbesar di dunia. Saya rasa di Indonesia pun juga tidak kalah heboh, apalagi tahun ini Sincia jatuh pada long weekend.
Karena kebiasaan merantau, saya jarang sekali merayakan Sincia dengan berkumpul bersama keluarga tetapi setiap tahun pasti ada saja anggota keluarga besar saya yang bertanya "Sincia pulang gak?" Menghadapi hari raya ini bagi generasi muda Tionghoa seperti saya rasanya ngeri ngeri sedap. Dulu masih lebih banyak sedapnya karena saya masih menerima angpao, sekarang saya sudah menikah jadi saya haru memberi angpao, ngeri. Belum lagi harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaan wajib masa Sincia. Kira-kira sama dengan generasi muda Muslim ketika hendak menghadapi hari raya lebaran. Paham kan?
Akhir-akhir ini di media sosial banyak bertebaran artikel, video dan sejuta bentuk ekspresi lain yang mengungkapkan kejengkelan orang terhadap pertanyaan dan komentar kepo nan mainstream yang biasa dilontarkan orang lain terhadap kita dan kehidupan kita. Misalnya: bagi yang belum punya pacar akan ditanya kapan bawa pacarnya, bila sudah punya pacar akan ditanya kapan diresmikannya, bila sudah diresmikan ditanya kapan punya momongan, bila sudah punya 1 momongan akan ditanya kapan menambah momongan, bila sudah punya 2 momongan laki-laki misalnya akan ditanya apa tidak mau punya anak perempuan, bila sudah punya 3 anak akan dikomentari kasihan anaknya ganjil, daaannn seterusnya.
Komentar dan pertanyaan seakan sudah bisa ditebak dan tidak akan pernah selesai. Saya jarang bersincia bersama keluarga besar sehingga saya terhitung cukup jarang menerima pertanyaan seperti ini tetapi tetap saja bila sedang berkumpul dengan keluarga besar saya sudah bisa menduga pertanyaan apa saja yang akan muncul. Dalam kasus saya, pertanyaan yang paling sering saya terima adalah:
- "Kamu udah lulus belom sih?"
- "Lagi wajib kerja di daerah ya?"
- "Belum bisa praktek sendiri?"
- "Abis ini, mau ambil spesialis apa?"
Saya yakin 100% semua dokter pasti pernah melewati masa-masa ini ketika harus menjelaskan bahwa kita sudah lulus, apa perbedaan koas dan PTT, bahwa PTT sekarang sudah tidak wajib, PTT berarti sudah bisa praktek sendiri tetapi kita memilih untuk bekerja dengan pemerintah sebagai dokter PTT dan untuk yang tidak mau lanjut spesialis seperti saya harus mati-matian menjelaskan bahwa tidak semua dokter harus spesialis, bahwa dokter umum juga bisa sejahtera, bahwa sekolah spesialis biayanya besar dan butuh waktu yang lama, dsb.
Selalu hanya 4 pertanyaan itu. Bahkan pertanyaan pertama, kedua dan ketiga baru berhenti ditanyakan setelah 5 tahun saya lulus dokter. 5 tahun, sodara-sodara! Pertanyaan keempat masih saya hadapi sampai sekarang. Setiap ada acara kumpul keluarga besar ingin rasanya saya merekam saya semua penjelasan saya lalu menyetelnya setiap ada yang bertanya. Sekarang mereka sudah paham bahwa saya sudah lulus dokter, saya sudah bisa praktek sendiri tetapi saya lebih suka bekerja di luar Jawa maka saya yakin topik yang akan diangkat di Sincia kali ini adalah soal momongan. Adik saya sampai "melarikan diri" ke luar negeri karena malas dikepoin orang Indonesia, katanya.
Tetapi yang lebih berat adalah pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak hanya ada di pertemuan keluarga dalam momen-momen kebersamaan keluarga besar tetapi juga ditanyakan oleh orang-orang lain yang tidak ada hubungan keluarga dengan kita bahkan oleh orang yang baru saja dikenal!
Menghadapi hal ini dan sebagai bentuk solidaritas dan persetujuan saya atas semua orang lain yang tidak suka ditanya dan dikomentari hal-hal template seperti ini, saya berusaha mengatasi dengan dua solusi:
- Menegur orang yang berlaku demikian agar mereka menghentikan kebiasaan mereka
- Tidak bergaul dengan orang yang demikian agar kita tidak tertular kebiasaan mereka
Sayangnya kedua solusi ini bukan solusi terbaik karena tidak bisa dilakukan terhadap semua orang. Keduanya hanya bisa saya lakukan pada orang-orang yang sebaya dengan saya. Sementara yang sering bertanya dan berkomentar juga adalah tetua-tetua di keluarga besar saya yang mana tidak mungkin saya yang level cucu menegur mereka dan juga tidak mungkin saya tidak mau lagi bergaul dengan mereka. Saya tetap harus menghormati mereka. Ya sudah akhirnya saya putuskan merubah pola pikir saya. Saya yakin mereka punya maksud baik. Pertanyaan dan komentar mereka saya anggap sebagai bentuk perhatian dari mereka. Toh juga tidak setiap tahun, tetap tegar dan selalu pasang senyum.
Ternyata perubahan pola pikir saya ini membawa dampak yang tidak saya sangka-sangka. Dengan berpikir lebih positif saya jadi bisa menjawab setiap pertanyaan yang sebelumnya saya anggap menjengkelkan dengan lebih sabar.
Saya jadi lebih terbuka dan menerima banyak sekali masukan yang baik dari mereka, tidak heran karena pengalaman hidup mereka pun jauh lebih banyak daripada saya. Mereka pun jadi lebih nyaman ngobrol dengan saya dan relasi kami bukan menjadi relasi kaku antara tetua dengan cucu lagi tetapi menjadi lebih akrab. Seringkali mereka menelpon saya bila mereka merasa sepi atau saya menyempatkan diri menelpon mereka.