13 tahun sudah berlalu sejak tragedi tsunami di Aceh yang menelan korban lebih dari 150.000 jiwa. Sampai dengan hari ini, saya masih bisa mengingat dengan jelas saat saya menonton televisi 13 tahun yang lalu, melihat air bah tumpah menyap semua benda yang dilewatinya. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.
13 tahun yang lalu, dalam suasana akhir tahun seperti sekarang ini, kami sekeluarga sedang berlibur di kapal pesiar yang berangkat dari Singapura menuju ke Phuket, Thailand. Itu adalah pertama kalinya (dan masih menjadi satu-satunya) pengalaman kami menaiki kapal pesiar. We really didn't know what to expect at that time, so we decided to just have fun. Hari pertama berjalan istimewa, banyak terdengar "wah wah wah" di sana sini, melihat betapa istimewanya kapal ini, sangat besar, ada beberapa kolam renang, begitu banyak restoran, sungguh luar biasa.
Lalu pada malam kedua, kami pergi makan malam di salah satu restoran di lantai dasar. Di sisi restoran ada jendela di mana kami bisa melihat ke arah laut. Saya dan adik saya menengok ke jendela tersebut sambil menunggu makanan datang. Saya melihat ketinggian permukaan air begitu dekat dengan jendela. Sepanjang makan malam sesekali kami merasakan kapal bergoyang-goyang, sup sedikit tumpah beberapa kali. Apakah memang seperti ini rasanya naik kapal pesiar? Ternyata kapal sebesar ini juga bergoyang-goyang yah layaknya kapal kecil. Saya mengira dengan besarnya tubuh kapal, gelombang ombak tidak akan terasa sama sekali di dalam.
Setelah makan malam, kami menuju ke salah satu auditorium untuk menonton theater musikal. Auditoriumnya luas sekali, bisa menampung semua penumpang. Sebelum acara dimulai, pembawa acara menyampaikan pesan dengan sangat serius bahwa telah terjadi bencana tsunami di Phuket sehingga kami tidak bisa mengarah ke sana, oleh karenanya tujuan kapal pesiar akan dipindah ke Langkawi, Malaysia. Saya tidak ingat dengan pasti apakah pembaca acara ada menyebutkan soal area-area lain yang terkena dampak tsunami, misalnya Aceh tetapi saya ingat sekali pada saat itu saya sungguh tidak menyangka bahwa bencananya sebesar ini. Tidak ada televisi di atas kapal pesiar sehingga kami tidak bisa melihat berita. Pertunjukkan berlangsung seperti biasa.
Malam itu kami tidur di kabin dengan kurang nyaman karena kapal terus bergoyang-goyang.
Tanggal 28 Desember 2004 kami berlabuh kembali ke Singapura. Barulah setelah kami menyalakan televisi di kamar hotel, kami menyadari dahsyatnya bencananya ini, semua saluran menayangkan tentang bencana ini, tidak ada berita lain dan yang terkena dampak paling parah adalah Serambi negara kami. Oh, saya baru bisa merangkai benang merah dari semua kejadian di kapal pesiar. Semua ketidakyamanan yang kami rasakan memang seharusnya tidak terjadi, kapal pesiar tidak seharusnya terasa bergoyang-goyang. Sungguh mengerikan. Semua kemeriahan acara pergantian tahun di Singapura dilarang, terutama menyalakan kembang api dan petasan, demi menghormati para korban.
Kira-kira 4 tahun kemudian, ketika saya menjalani masa koas di Departemen Obstetri dan Ginekologi, saya berada di bawah bimbingan seorang dokter yang sedang menjalani PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Suatu hari kami berjaga bersama, ngobrol punya ngobrol, beliau baru saja punya anak. Wah sungguh membahagiakan sekali. Tetapi kemudian beliau menghela nafas panjang sambil memandang foto anak bayinya, lalu beliau menceritakan bahwa keluarganya termasuk istrinya hilang saat tragedi tsunami Aceh. Berupaya mencegah beliau terlalu sedih, ibunya menyuruh beliau segera menikah lagi dengan wanita yang menjadi ibu dari anaknya yang sedang dia pandangi saat itu. Saya hanya terdiam bingung harus merespon bagaimana, sungguh tidak sampai hati melihat pandangan matanya terselip kesan kesedihan saat melihat anaknya. Saya turut berduka Dok.
Beberapa tahun setelahnya, ada salah seorang paman saya yang menikahi gadis Aceh, yang telah menjadi yatim piatu karena kehilangan seluruh keluarganya dalam tragedi tsunami Aceh. Setelah menikah, mereka berbulan madu ke Aceh, menapak tilas kehidupan istrinya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya.
Bagi saya pribadi, tragedi tsunami Aceh 13 tahun yang lalu sungguh suatu duka bagi kita semua rakyat Indonesia, bahkan meskipun kita tidak terdampak langsung saat itu. Tetapi pasti ada satu dua bagian dari hidup kita di mana kita bersentuhan dengan tragedi itu, membuat kita teringat kembali dengan kengeriannya. Sampai saat ini begitu ada gempa di negara kita, pertanyaan yang pasti ditanyakan selanjutnya adalah apakah berpotensi tsunami. Sebagai saudara sebangsa, sungguh kita ikut trauma dan terluka dalam karena bencana tsunami Aceh akhir tahun 2004.
Tetapi bencana itu juga yang membuat kita kuat bersatu sebagai satu bangsa, satu saudara. Semua orang berbondong-bondong mengerahkan segenap kemampuan dan daya upaya untuk menolong semua korban. Saat ini Aceh berdiri lebih tegak daripada sebelumnya. Gotong royong dan persatuan bangsa kita tergambar makin nyata. Tidak ada yang ribut mempermasalahkan suku, mengangkat topik soal pribumi atau bukan, kisruh menanyakan agamanya apa, bingung apakah halal atau haram menerima bantuan dari orang yang berbeda agama, apakah boleh atau tidak boleh dipimpin oleh orang yang berbeda agama. Semuanya tanpa disadari mengedepankan Pancasila demi kemanusiaan.
13 tahun setelah kejadian itu, lihat bangsa kita sekarang. Makin maju atau justru makin mundur pengamalan Pancasilanya? Haruskah kita menunggu ada bencana dan tragedi sebesar tsunami Aceh agar kita bisa bersatu lagi?