Lihat ke Halaman Asli

Sandra Suryadana

TERVERIFIKASI

30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Indonesia Darurat "Bullying" (4), Meramal Masa Depan Korban

Diperbarui: 10 Desember 2017   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Melalui artikel-artikel sebelumnya, kita sudah mendapat gambaran dasar mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dalam bullying, dari sisi pelaku maupun sisi korban. Saya harap setelah membaca artikel-artikel saya sebelumnya, kesadaran kompasianer mengenai bullying sudah lebih meningkat. Kali ini saya akan menjelaskan mengenai hal-hal apa saja yang dapat diprediksikan terjadi dalam kehidupan  korban bullying, khususnya dalam aspek kesehatan fisik dan psikis. Semoga dengan mengedepankan hal-hal ini kita semakin tergerak untuk menganggap bullying sebagai suatu urgensi yang akan mencederai generasi muda kita bila tidak segera diatasi.

Menggunakan kata 'meramal' pada judul mungkin akan membuat saya terdengar arogan dan seakan-akan punya kuasa menentukan kehidupan orang lain. Jalan kehidupan setiap orang tentunya unik dan berbeda, tidak bisa digeneralisasi. Ada korban bullying yang bisa hidup bahagia, ada yang tidak, ada orang yang tidak pernah dibully tetapi hidupnya tidak bahagia, tapi ada juga yang bahagia. Semuanya kembali pada pengaturan dari Yang Di Atas. Tetapi yang saya sampaikan dalam artikel ini adalah fakta-fakta berdasarkan penelitian terstruktur yang menggambarkan adanya korelasi antara beberapa fenomena hidup seseorang di masa dewasa dengan kejadian bullying di masa sekolahnya.

Dalam artikel sebelumnya, saya sudah menjelaskan mengenai hal-hal apa saja yang terjadi dalam tubuh dan otak manusia ketika mengalami bullying. Masa depan yang ingin kita prediksi dari korban masih berhubungan erat dengan mekanisme tersebut, yaitu berhubungan dengan hormon kortisol, prefrontal cortex, amygdala, dll.

Korban bullying, akibat stress berulang dalam kesehariannya memproduksi kortisol jauh lebih banyak, beriringan dengan produksi norepinefrin, yang juga adalah hormon stres. Peningkatan hormon stress dalam periode waktu tertentu membuat seseorang menjadi cemas, depresif, mudah curiga dan negative thinking. Ditambah lagi dengan isolasi yang dilakukan oleh pelaku membuat korban merasa tidak berdaya karena tidak ada yang menolong, akhirnya korban semakin memilih untuk tidak melawan, mematuhi pelaku bahkan sampai melanggar nilai-nilai hidup mereka sendiri demi berharap bisa keluar dari situasi tersebut suatu hari nanti, misalnya: dia diminta untuk memakan kotoran binatang.

Semakin korban terjebak dalam situasi seperti ini, semakin korban merasa malu dengan perlakuan yang mereka terima, malu karena merasa diri lemah, mereka kemudian cenderung menyalahkan diri mereka sendiri "Saya diperlakukan seperti ini karena memang saya gendut, saya jelek, saya tidak bisa apa-apa, saya tidak punya teman, saya miskin, dll." Perilaku menyalahkan diri sendiri ini makin membuat mereka depresi dan tidak percaya diri dan justru makin membuat mereka menjadi santapan nikmat bagi pelaku bullying. Hal ini bisa berlanjut terus sampai masa dewasanya di dunia kerja, stress terus berlanjut, kortisol terus diproduksi secara berlebihan. (Schacter, 2015)

Over produksi dari kortisol terbukti mengganggu fungsi memori dan neurogenesis alias pembentuk sel otak baru sehingga membuat anak menjadi kesulitan belajar, prestasi akademisnya makin menurun dan dia akan semakin tidak percaya diri dan semakin dibully. Seringkali orang tua dan guru berpikir bahwa penurunan prestasi akademis ini karena korban kesulitan konsentrasi belajar akibat bullying yang diterimanya, ternyata ada mekanisme biologis di balik terganggunya proses belajar si korban.

Proses ini seharusnya tidak berjalan lama karena akan ada masanya sampai pada suatu titik di mana tubuh akhirnya merasa kelelahan, kelenjar adrenal akhirnya tidak sanggup lagi memproduksi kortisol secara terus-menerus dalam jumlah besar, sehingga berapapun stress yang diterima tidak ada lagi lonjakan kortisol sebagaimana seharusnya. Mungkin ini yang orang sebut dengan kebal atau mati rasa, berapapun stress atau rasa sakit yang diterimanya, ia sudah tidak merasakannya lagi. Terdengar bagus ya, akhirnya korban bisa move on, tidak peduli dengan bullying yang ia terima. 

Ternyata eh ternyata, kondisi kortisol lebih rendah dari normal juga bukan hal yang baik. Kortisol tetap harus ada dalam tubuh manusia dalam jumlah yang seimbang, sedikit peningkatan sekali-sekali untuk menjaga energi tubuh agar manusia tetap bersemangat dalam menjadi hari dan mengatasi permasalahan yang ada. Kondisi kortisol jauh di bawah normal membuat kita akan selalu merasa lemas, tulang-tulang terasa sakit, pencernaan dan metabolisme tidak lancar, dll.

 Singkatnya, kadar kortisol tinggi sepanjang waktu tidak baik untuk kesehatan jangka panjang, sebaliknya kortisol terlalu rendah sepanjang waktu juga bisa merusak kesehatan. Belum lagi bila mereka kemudian menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan untuk berusaha mengatasi permasalahan mereka yang sudah menumpuk. Professor Dorothy Espelage dari University of Florida telah melakukan penelitian yang menyatakan bahwa ada korelasi langsung antara bullying dan perkelahian dengan penyalahgunaan obat terlarang terutama pada anak laki-laki (Espelage, 2014). Apapun yang terjadi, bisa dipastikan korban bullying akan memiliki permasalahan kesehatan baik fisik maupun mental di masa depan dan penurunan usia harapan hidup bila stresnya tidak segera diatasi.

Ah, tapi kan gak semuanya bakal sesuram itu masa depannya! Iya betul juga. Seperti saya bilang di paragraf awal, tidak bisa digeneralisasi. Lalu ada pertanyaan selanjutnya, kenapa ada anak korban bullying yang menjadi orang dewasa yang bermasalah, sementara ada yang tidak? Ternyata ada penjelasan ilmiah atas pertanyaan tersebut. Hal ini terkait dengan variasi bentuk gen transporter serotonin.

Serotonin adalah hormone dalam tubuh kita yang salah satu fungsi utamanya adalah sebagai mood stabilizer. Kekurangan serotonin dianggap dapat menyebabkan depresi, dan depresi diatasi dengan memberikan obat yang meningkatkan serapan serotonin dalam tubuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline