Lihat ke Halaman Asli

Sandra Suryadana

TERVERIFIKASI

30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Menghadapi Hidup Pasca Aborsi

Diperbarui: 23 Mei 2017   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aborsi masih menjadi topik kontroversial di seluruh dunia, mengenai legal atau illegal, aman atau tidak aman, indikasi yang tepat atau tidak. Di Indonesia sendiri aborsi merupakan suatu tindakan super illegal secara hukum agama, hukum negara termasuk hukum etika kedokteran, bahkan membicarakannya saja seperti membicarakan Lord Voldemort, Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut. Tetapi ketabuan soal aborsi tidak menutupi fakta bahwa praktek aborsi tetap marak dilakukan terutama di kalangan anak muda. Yang menjadikan hal ini memprihatinkan adalah pemikiran masyarakat yang menganggap aborsi adalah momok telah mengantarkan kita semua pada situasi di mana praktek-praktek aborsi dilakukan secara tertutup di bawah meja tanpa pemantauan apalagi regulasi yang menjamin praktek tersebut dilakukan secara aman sehingga tidak membahayakan nyawa sang ibu.

Tidak pernah saya dengar ada seorang wanita yang meninggal setelah melakukan aborsi yang tidak aman atau tidak steril. Padahal saya yakin ada! Mungkin saya yang kudet alias kurang update, tetapi mungkin juga karena hal-hal seperti ini ditutup-tutupi dengan sedemikian rapi. Padahal, setiap tindakan aborsi yang dilakukan secara sembarangan dengan menggunakan obat yang tidak tepat atau menggunakan peralatan yang tidak steril beresiko tinggi mengakibatkan hilangnya nyawa pasien.

Mengapa masyarakat kita menutup mata terhadap kenyataan ini? Aborsi bukan perkara sepele yang dengan mudah bisa disembunyikan di bawah bantal. Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) terjadi 1,5-2juta aborsi setiap tahunnya di Indonesia, ini berarti kurang lebih 5000 perempuan menggugurkan kandungannya setiap hari! Ini hanyalah angka yang tampak di permukaan, menurut saya, saya yakin ini adalah fenomena gunung es di mana jauh lebih banyak kasus terjadi daripada yang disampaikan. Masih menurut SKDI, aborsi menyumbang 30% kasus kematian ibu, terutama disebabkan karena praktek aborsi yang tidak aman. Ini sama sekali bukan perkara yang ringan!

Saya adalah seorang praktisi kesehatan yang telah disumpah untuk tidak menggugurkan janin, selama-lamanya saya tidak akan memfasilitasi terjadinya praktek aborsi. Tetapi sebagai manusia, saya ingin bisa memahami situasi pelik dari setiap wanita yang memilih untuk melakukan aborsi. Apapun alasan mereka, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa aborsi bukan keputusan yang mudah bagi mereka. Bukan hanya nyawa dan kondisi fisik mereka yang dipertaruhkan tetapi juga kondisi mental mereka di hari-hari berikutnya, sampai seumur hidup mereka. Karena setiap manusia pasti punya hati, mencabut nyawa makhluk yang tidak berdosa dan tidak berdaya, makhluk yang telah mulai tumbuh dalam diri mereka, tentu akan menimbulkan rasa bersalah yang teramat dalam, sebagian dari diri mereka pasti juga ada yang ikut mati, dan perasaan ini harus mereka bawa sampai akhir hayat mereka.

Melanjutkan hidup setelah melakukan aborsi saya yakin sama sekali bukan hal yang mudah. Saya melihat banyak sekali perempuan yang tetap berusaha menjalani hidup mereka senormal mungkin seakan tidak pernah terjadi hal buruk dalam hidup mereka, tetapi di ruang tertutup saat mereka sendirian tidak jarang mereka menangis ketika mengingat tentang tindakan aborsi yang mereka lakukan di masa lalu. Ada juga seorang perempuan yang jadi kesulitan berinteraksi dengan anak-anak kecil karena selalu merasa dihantui oleh anak yang pernah dia gugurkan, atau perempuan lain yang akhirnya memutuskan untuk tidak memiliki anak karena tidak bisa menanggung perasaan bersalah, atau perempuan yang jadi begitu ketakutan berhubungan dengan suaminya karena takut akan hamil lagi dan dia masih dibayang-bayangi oleh rasa bersalah atas tindakannya dahulu. Dan sejuta permasalahan psikis lainnya yang kalau saya bayangkan sangat melumpuhkan perempuan tersebut.

Saya menaruh simpati yang sangat dalam terhadap semua perempuan yang akhirnya memilih untuk melakukan aborsi, yang berhasil survive setelah melakukan aborsi dengan cara apapun, yang mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melanjutkan hidup yang normal kembali, yang berusaha mengendalikan perasaan mereka dan tetap menjadi waras. Saya mengajak masyarakat untuk tidak menghakimi perempuan-perempuan yang pernah memutuskan untuk aborsi, apapun alasan mereka biarkan itu menjadi privasi mereka. Saya ingin masyarakat bersyukur setiap melihat perempuan yang tetap hidup setelah melakukan aborsi, apalagi aborsi yang tidak aman, merangkul mereka, meyakinkan mereka bahwa masa lalu mereka tidak menentukan masa depan mereka.

Kalau mau membahas soal dosa, ijinkan saya mengutip kata-kata Yesus dari Kitab Suci agama saya “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yohanes 8:7). Ungkapan ini disampaikan Yesus saat membela seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Kita semua orang berdosa, siapalah kita yang berhak menghakimi sesama kita manusia? Lebih baik saling menyayangi daripada saling menghakimi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline