Lihat ke Halaman Asli

(Cerbung) My Name Is Jeannete #6

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan berat kucoba membuka kedua mataku

“kamu?”

“Jason” ucapnya sambil tersenyum

“kamu yang menabrakku dulu kan?”

“iya, maaf sekali lagi untuk kesalahan sama yang kulakukan padamu Jean”

Jean? Ternyata dia masih mengingat persis namaku

“kamu tuh bisa nyetir gak sih? Untung aku gak mati” ucapku kesal

“maaf Jean, oh ya tapi kata Dokter tadi kamu tidak apa-apa kok, Cuma memar kecil”

“oh gitu ya? Jadi mau sampe aku kenapa-kenapa dulu?”

“tidak, bukan itu maksudku”

“ya sudah, pokoknya kamu harus tanggung jawab”

“baiklah, sebentar sore aku jemput ya, soalnya aku ada urusan yang tak bisa kutinggalkan, soal administrasinya aku yang urus nanti”.

Aku hanya mengangguk kecil sambil melihatnya berlalu dari hadapanku! Kututup kembali mataku dan membayangkan wajah Jason lagi, hmmm, perfect, tinggi, putih, rambutnya disisir rapi ala artis Korea, matanya agak cipit dengan sepasang bola mata yang coklat, bibirnya terlihat basah dan merah, wajahnya terlihat dewasa, akh, hatiku jadi bergetar membayangkannya. Ada apa ini, kuingat lagi ucapan terakhirnya tadi, dan, sore? Berarti? Kulihat keluar jendela, jam berapa ini? Aku bangun dan mencoba mencari Hp ku dan sial, Hp ku lowbatt. Oh no, Willy pasti mengkhawatirkanku. Akupun keluar tergesa-gesa terpikir oleh ku untuk menggunakan telpon Rumah Sakit untuk menghubuginya

“permisi mbak, boleh pinjam telponnya?”

“boleh mbak, silahkan”

Kutelpon Willy dan menyampaikan tentang kecelakaan yang kualami itu, tanpa banyak bicara Willy pun menanyakan alamat rumah Sakit tempat ku dirawat dan langsung meluncur menemuiku

“makasih sekali lagi ya mbak”

“iya mbak sama-sama”

Akupun kembali ke kamar rawatku dan sambil menunggu kedatangan Willy aku kembali memejamkan mataku dan kembali terlelap. Tak lama kemudian kudengar ada yang memanggil namaku

“Jeannete”

“Willy, kamu udah. .”

Willy langsung memeluku dengan erat tanpa membiarkan aku melanjutkan kata-kata ku, sejenak aku kaget dengan perlakuannya yang tiba-tiba memelukku itu. Hening, kami sama-sama terdiam sejenak dalam suasana itu dan entah mengapa aku seperti membiarkan diriku berlama-lama berada dalam pelukannya.

“kamu baik-baik saja kan Jean? Aku khawatir semenjak kepergianmu semalam, aku bahkan mencari mu di apartemen, apalagi nomor mu gak bisa dihubungi, aku hampir gila Jean, tolong jangan seperti ini lagi”

“iya, tapi lepaskan dulu pelukanmu Will, aku gak bisa napas ni”

“biar saja, itu hukuman buat kamu karena telah membuatku khawatir”

“hmmm, aku kan gak sengaja, liat ajah aku terbaring seperti ini, ayolah lepaskan dulu pelukannya”

“gak Jean, pelukan ini takkan ku lepas sampai kamu berjanji bahwa kamu gak akan pergi lagi dari ku, aku mencintaimu Jean”

Apa? Apa aku gak salah dengar? Willy mencintaiku? Jantungku berdegup kencang, seluruh tubuhku lemas, seperti semua otot-otot ku telah mati dan aliran darah ditubuh ku pun tak lagi mengalir, tiba-tiba terlintas wajah Om Dedy, ya Om itu, lelaki yang telah memberiku segalanya, yang merubah hidupku dari seorang wanita panggilan hina menjadi wanita karier yang mulai dihormati, ah Om Dedy, air mataku mengalir. Katakan padaku bagaimana caranya menghadapi darah daging mu ini

“kamu menangis Jean?”

Willy kemudian melepaskan pelukannya dan menggenggam kedua tanganku, lalu mengarahkan tangannya kepipiku dan menghapus airmata ku

“kenapa menangis sayang?”

Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, bahkan melihat wajahnya pun aku tak sanggup, apalagi mendengarnya memanggilku dengan sebutan sayang, yang terlintas justru dosa-dosaku yang pernah menjadi simpanan ayahnya. Tidak, ini tidak boleh terjadi

“Willy, aku. . .”

“sudahlah sayang, kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Oh ya, tadi aku tanya ke Dokter katanya kamu sudah boleh pulang?”

“iya Will”

“ya udah, kamu siap-siap ya, aku akan mengurusi administrasinya dulu”

Aku hanya mengangguk dan bersiap-siap untuk pergi dari situ. Tapi, aku kemudian teringat dengan Jason, dia sudah janji akan menjemputku nanti sore, bagaimana ini? Aku masih penasaran bertemu dengannya, tapi bagaimana dengan Willy?

“sudah siap tuan putri?”

“ah, Willy”

“mari tuan putri hamba siap mengantarkan tuan putri kemana saja”

“hahahahaha” aku tertawa mendengar perkataan Willy itu, dia persis seperti ayahnya. Kamipun berjalan menuju mobil dan melaju meninggalkan Rumah Sakit itu.

“mau makan dulu tuan putriku?”

“ah, gak usah, aku pengen cepat pulang, pengen istirahat”

“baiklah tuan putri”

“udah ah, jangan memanggilku seperti itu”

“ooh, ternyata tuan putriku hanya mau di panggil sayang”

“ah, bukan itu maksudku”

“terus? Apa dong? Honey? Baby?”

“Jeannete, My Name Is Jeannete”

“wow, sepertinya ada makna dibalik namamu itu sehingga kamu gak mau menggantikannya dengan panggilan lain”

Seandainya kau tau Willy, siapa aku sebenarnya, apa yang telah aku lalui dulu ,penyiksaan oleh orang tuaku, dijual dan kemudian menjadi wanita penghibur, penghinaan dan caci maki,bahkan ketika orang-orang melihatku dengan jijik, hanya nama itulah yang setia menempel pada diriku, nama itu sudah seperti bagian dari diriku yang tak bisa terpisahkan, banyak kisah yang terukir dalam hidupku bersama sebuah nama itu sebagai identitas jati diriku, walaupun hanya kepahitan yang kulalui selama menjadi seorang Jeannete, tapi ada makna ketegaran disana, ketegaran melewati semua cobaan yang berat itu Willy, cobaan yang kulalui sedari lahir didunia ini sampai ayahmu menemukanku

“kok diam Jean, pasti ada artinya kan, dan boleh tau siapa yang menyematkan nama itu padamu Jean?”

“ah, nanti saja kuceritakan. Oh ya, Pak Dedy kemana? Kayaknya aku gak pernah lihat beliau di hotel”

“iya Jean, Penyakit jantung papa kambuh akhirnya beliau ke Amrik ikut mama, berobat sekalian biar ada mama yang ngurus”

Apa? Om Dedy sakit? Kok aku bisa gak tau?

“terus gimana keadaan beliau sekarang?” aku mencoba tenang agar tak dicurigai oleh Willy

“terakhir telpon mama tadi malam sih kondisi papa sudah mulai membaik”

“syukurlah, aku berdoa semoga beliau cepat sembuh”

“memang harus, apalagi kamu kan calon menantu satu-satunya”

“Wilyyyyy”

“iya,iya” ucapnya sambil tertawa

Akhirnya sampai juga kami depan apartemen

“mau aku antar kedalam Jean?”

“ah gak usah trima kasih, lain kali ajah”

“ya udah, kamu jaga diri ya, kalau masih sakit gak usah ngantor dulu deh, kan ada Lily”

“iya, makasih ya Will”

“sebentar Jean, tolong pikirkan lagi apa yang sudah kubilang tadi di Rumah Sakit”

Hmmmmm, aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapannya itu

“kamu hati-hati di jalan ya Will”

“baiklah, sampai kantor aku telpon ya.

Kamipun berpisah, Willy melanjutkan perjalanannya dan akupun melangkahkan kakiku menuju kamarku

“mbak Jean”

“eh mbak Itha”

“darimana ajah si mbak, semalam saya liat ada pria yang menunggu di depan pintu kamar mbak Jean loh, sampai ketiduran malah”

“oh ya?”

“iya mbak, itu loh mas cakep yang beberapa kali saya liat ngejemput mbak itu”

“oh, iya ya mbak Itha? Makasih yah mbak”

“iya sama-sama mbak Jean”

Kuhempaskan tubuhku keras-keras di pembaringan, terbayang lagi wajah Willy dan semua ucapannya tadi, dia bahkan tidur disni untuk menungguku, apa dia benar serius? seandainya Willy itu bukan anaknya Om Dedy. Tapi apakah aku pantas dicintai pria baik-baik walaupun itu bukan Willy? Kupejamkan mataku, tak terasa air mataku pun mengalir deras, bahkan sampai terisak, seandainya ada seseorang yang mau memelukku dan menenangkanku. Suster, suster Maria aku sangat merindukannya. . . . .

BERSAMBUNG. . . . . . . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline