Lihat ke Halaman Asli

Widodo Judarwanto

TERVERIFIKASI

Penulis Kesehatan

Perspektif Sains Kedokteran dan Islam dalam Kekerasan pada Anak

Diperbarui: 7 Desember 2024   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kejadian tragis menimpa seorang bayi berusia 1 tahun 3 bulan berinisial KCB, yang disiram air panas oleh pengasuh daycare bernama Seftyana (35) di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Peristiwa ini terjadi pada Senin (2/12/2024), di mana orang tua korban diketahui telah menitipkan anaknya sejak Agustus 2024 dengan jam penitipan dari pukul 05.30 hingga 19.30 WIB. Kasus ini diungkap oleh Kapolres Metro Depok Kombes Arya Perdana yang menegaskan tindakan keji tersebut sebagai bentuk penganiayaan serius di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak. 

Kekerasan terhadap anak merupakan masalah global yang memengaruhi kesehatan fisik, mental, dan sosial anak. Salah satu kasus yang mencuat adalah seorang anak berusia satu tahun yang mengalami penyiraman air panas di tempat penitipan anak. Insiden ini tidak hanya memprihatinkan, tetapi juga menyoroti lemahnya pengawasan serta pentingnya kesadaran dan edukasi dalam melindungi anak-anak dari kekerasan. 

Pandangan Sains Kedokteran Dalam kedokteran, kekerasan terhadap anak termasuk dalam kategori child abuse yang mencakup kekerasan fisik, emosional, seksual, dan penelantaran. 

Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa hampir 3 dari 4 anak berusia 2-4 tahun mengalami kekerasan fisik atau emosional oleh pengasuh mereka. Trauma akibat kekerasan dapat menyebabkan luka fisik seperti luka bakar, memar, atau bahkan cacat permanen, serta gangguan psikologis seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), depresi, dan kecemasan.

Dampak Pada Anak

Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet tahun 2023 menyoroti dampak serius kekerasan terhadap perkembangan otak anak. Stres kronis yang dialami akibat kekerasan, baik fisik maupun emosional, dapat memengaruhi fungsi otak secara mendalam.

 Area otak seperti amigdala, yang berperan dalam pengaturan emosi, dan korteks prefrontal, yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan pembelajaran, sangat rentan terhadap efek stres ini. Akibatnya, anak yang mengalami kekerasan sering menghadapi kesulitan dalam mengelola emosi, berkonsentrasi, atau belajar.

Efek jangka panjang dari gangguan fungsi otak ini tidak dapat diremehkan. Anak yang terus-menerus mengalami tekanan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental seperti kecemasan, depresi, atau PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa stres berkepanjangan dapat mengubah struktur dan konektivitas otak, yang berpotensi menghambat perkembangan sosial dan akademik anak di kemudian hari. Hal ini menunjukkan bahwa dampak kekerasan tidak hanya terjadi di masa kanak-kanak tetapi juga membawa konsekuensi signifikan hingga usia dewasa.

Temuan ini memperkuat pentingnya upaya pencegahan kekerasan sejak dini. Intervensi yang tepat, seperti memberikan dukungan psikologis dan menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dapat membantu meminimalkan dampak negatif kekerasan pada perkembangan otak. 

Selain itu, pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara stres kronis dan kesehatan otak mendorong para peneliti dan praktisi untuk merancang strategi perlindungan yang lebih efektif, baik melalui edukasi, regulasi, maupun terapi berbasis bukti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline