Ketika bayi anda menutup mulut saat disodor MPASI adalah hal yang paling mencemaskan bagi ibu muda, terutama kalo sudah berlangsung 2 minggu. Apalagi bila diikuti sulitnya naik Berat Badan (BB). Sudah berbagai cara diikuti, sudah berbagai dokter didatangi, sudah berbagai vitamin terbaik diberikan tetapi masih saja si kecil masih saja sulit makan. Bahkan sempat dicurigai bayiku menderita TB, karena sering sakit dan BB sulit naik. Alhamdulillah saat second opinion ke dokter paru anak dinyatakan bukan TB. Selama ini sering disalahkan orangtua kurang sabar, kesalahan feeding rules, bayi bosan makanan, karena kebanyakan susu atau kebanayakan ASI, ternyata bukan itu penyebabnya. Setelah berkonsultasi dengan seorang klinisi spesialis anak, ternyata bayiku mengalami alergi pencernaan (allergy gastrointestinal, FGIG atau GERD). Saat ada beberapa makanan dihindari dengan cara Oral Food Challenge dibawah pengawasan dokter, dalam 1-2 minggu anak jarang sakit, nafsu makan membaik, BB naik dan semua keluhan yang menyertai ikut membaik.
Bayi yang sulit makan merupakan masalah yang sering dikeluhkan oleh orang tua, dan salah satu penyebab yang perlu diwaspadai adalah alergi makanan. Alergi makanan pada bayi bisa mempengaruhi sistem pencernaan (gastrointestinal) dan dapat membuat proses makan menjadi tidak nyaman atau bahkan menyakitkan bagi bayi. Penelitian terbaru dalam bidang alergi makanan pada bayi telah menunjukkan bahwa gejala alergi makanan sering kali melibatkan sistem pencernaan dan menjadi penyebab utama bayi mengalami gangguan makan, termasuk muntah, diare, sembelit, atau bahkan kolik yang persisten.
Secara umum, bayi dengan alergi makanan menunjukkan reaksi alergi yang terjadi segera atau tertunda setelah makan makanan tertentu. Gejala yang muncul di saluran cerna sering kali tampak segera, seperti muntah dan diare, atau bisa tertunda seperti sembelit kronis atau ketidaknyamanan saat makan. Bayi dengan gejala alergi gastrointestinal juga bisa mengalami perut kembung, nyeri perut, dan ketidaknyamanan setelah makan, yang semuanya dapat mengakibatkan mereka menolak makanan atau sulit untuk makan dengan baik.
Gejala Alergi gastrointestinal pada bayi
Gangguan intestinal pada bayi sebagai penyebab sulit makan dan gangguan berat badan dan sulit makan, selama ini dianggap normal atau dianggap sebagai penyebab lainnnya. Gejalanya meliputi bayi mudah mual, muntah, GERD (gastroesophageal Refluks), sembelit, konstipasi, BAB ngeden, tidak BAB tiap hari, feses berwarna gelap, hitam, hijau, berbau tajam, bayi tidur nungging atau tengkurap, rewel, kolik, menjerit saat menangis, mudah diare, BAB cair, BAB 3 kali sehari, bibir kering, lidah putih, lidah berpulau, mulut berbau, liur berlebihan dan keluhan lainnya.
Keluhan alergi lainnya diantaranya adalah gatal, dermatitis, putih seperti panu, napas berbunyi grok-grok, saat tidur kadang mulut terbuka, ngorok ringan, mudah batuk, pilek, dan kadang dokter menganjurkan diinhalasi saat batuk. Anak sangat aktif, banyak bergerak, setelah usia 6 buan mudah jatuh dari tempat tidur
Penelitian menunjukkan bahwa protein susu sapi, telur, kacang, dan gandum adalah pemicu alergi yang umum pada bayi dan balita. Alergi ini dapat memengaruhi proses pencernaan dan berdampak pada kesehatan bayi secara keseluruhan. Studi terbaru yang dilakukan di pusat kesehatan anak di berbagai negara telah mengamati bahwa bayi yang mengalami alergi makanan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan tumbuh kembang jika alerginya tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua dan tenaga medis untuk mengenali tanda-tanda alergi makanan yang memengaruhi sistem pencernaan.
Diagnosis alergi makanan pada bayi biasanya dimulai dengan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pola makan bayi bukan melakukan tes alergi darah panel alergi. Salah satu metode utama paling akurat untuk memastikan alergi makanan pada bayi adalah melalui uji tantangan oral atau *Oral Food Challenge* (OFC). OFC adalah prosedur yang dilakukan di bawah pengawasan medis ketat, di mana makanan yang dicurigai sebagai alergen diberikan kepada bayi secara bertahap untuk melihat apakah muncul reaksi alergi. Prosedur ini dianggap sebagai standar emas dalam mendiagnosis alergi makanan, termasuk alergi yang memengaruhi sistem pencernaan.
OFC memiliki risiko potensial karena bayi bisa saja menunjukkan reaksi alergi yang parah selama prosedur ini. Oleh sebab itu, OFC hanya boleh dilakukan di fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan peralatan untuk menangani anafilaksis atau reaksi alergi berat. Penanganan alergi makanan dengan gejala gastrointestinal biasanya dimulai dengan menghindari makanan pemicu. Pada bayi yang mengonsumsi ASI, ibu yang menyusui mungkin perlu menghindari makanan tertentu untuk mencegah transfer alergen melalui ASI.
Selain menghindari makanan yang memicu alergi, bayi juga dapat diberikan suplemen atau pengobatan untuk membantu mengelola gejala yang timbul akibat alergi makanan. Probiotik, misalnya, telah disarankan oleh beberapa penelitian sebagai tambahan yang dapat membantu menyeimbangkan mikrobiota usus bayi, yang mungkin berperan dalam mengurangi gejala alergi gastrointestinal. Namun, penting bagi orang tua untuk berkonsultasi dengan dokter anak atau ahli alergi anak atau ahli gastroenterologi anak sebelum memberikan suplemen atau pengobatan tambahan.