Lihat ke Halaman Asli

Widodo Judarwanto

TERVERIFIKASI

Penulis Kesehatan

BPOM: Penelitian Obat Covid19 Tidak Valid. Ilmiah Diabaikan Kontroversialpun Terus Terjadi

Diperbarui: 21 Agustus 2020   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Para pakar kesehatan banyak menemukan kejanggalan dan ketidakterbukaan dalam klaim penemuan obat baru Covid19 terbukti. Kehebohan temuan kombinasi obat baru covid-19 yang sudah terburu buru diumumkan pada kalangan luas oleh  pemerintah khususnya BIN, TNI AD dan Unair yang menjadi polemik para pakar kesehatan ternyata berakhir anti klimaks. BPOM akhirnya mengkorfimasi bahwa temuan riset obat kombinasi Covid19 tidak valid. BPOM menemukan sejumlah kesalahan mendasar dalam uji klinis kombinasi obat yang tidak representantif, dan menyalahi protokol pengobatan yang sudah ditetapkan terhadap orang tanpa gejala menjadi masalah utama yang disorot BPOM. Selain itu, hasil yang didapat dari intervensi obat pada pasien juga belum signifikan dibandingkan dengan terapi standar yang kini telah digunakan di rumah sakit saat merawat pasien positif covid-19. Konfirmasi BPOM itu menunjukkan bahwa untuk kesekian kalinya kontroversial dalam penelitian pencegahan dan pengobatan Covid19 di Indonesia kembali terjadi. Seharusnya pemerintah harus belajar banyak  dari kasus kontroversial sebelumnya yang sangat menghebohkan. Seperti klaim temuan kalung anti virus, pembelian 5 juta avigan kloroquin dan klaim temuan obat hebal Covid19 oleh "Profesor" HP yang tidak berdasarkan kaidah ilmiah berbasis bukti. Mengapa hal ini terus terjadi untuk kesekian kalinya ?

Hasil inspeksi Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM) menemukan bahwa proses uji klinis obat Covid-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga bersama TNI AD dan Badan Intelijen Negara (BIN) belum valid. Ada banyak hal yang masih harus diperbaiki agar obat tersebut dinyatakan valid dan mendapat izin edar BPOM. Dalam status yang kami nilai adalah masih belum valid dikaitkan dengan hasil inspeksi kami," kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam konferensi pers virtual yang digelar Rabu (18/8/2020).

Sebelumnya tim peneliti dari Universitas Airlangga, TNI AD dan BIN dianggap terburu buru oleh pengamat kesehatan karena telah mengumumkan temuan obat baru Covid-19. Bahkan dengan eforia dan optimisme yang luarbiasa Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menuturkan, obat Covid-19 tersebut tinggal menunggu izin edar. "Obat ini tinggal menunggu izin edar dari BPOM," kata Andika yang sekaligus merupakan Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Mabes AD, Jakarta, Sabtu (15/8/2020), seperti dilansir dari Antara.

Ternyata dari inspeksi pelaksanaan uji klinis pada 28 Juli 2020, ke Pusat Penanganan Pasien Covid-19 di Secapa AD, Bandung, BPOM telah memberitahu sejumlah kejanggalan dan kesalahan dasar, serta meminta klarifikasi dan koreksi data riset, untuk mendukung validitas penelitian. Namun hingga hasil uji klinis diserahkan ke BPOM 19 Agustus, belum ada revisi atau perbaikan data yang diterima. Jika perbaikan dan klarifikasi yang ditunggu tidak mendukung validitas penelitian, maka uji klinis kombinasi obat ini harus diulang. Penerbitan izin edar obat pun masih jauh. Uniknya saat kesalahan dasar dalam penelitian tersebut belum diperbaiki tetapi Tim Peneliti, BIN dan TNIAD sudah terburu buru mengumumkan temuan obat baru Covid19 telah berhasil menyembuhkan pasien Covid19 dengan efektifitas hingga 98%,

Selain temuan BPOM ternyata WHO jauh hari sebelumnya juga mendesak Indonesia menghentikan iji klinis kloroquin karena dampak buruk efek sampingnya. Desakan WHO ini muncul usai sebelumnya sebuah studi yang dimuat dalam jurnal The Lancet menunjukkan penggunaan obat malaria hidroksiklorokuin tidak efektif. Bahkan beberapa pasien Corona yang mengonsumsi obat tersebut dilaporkan alami masalah jantung hingga berisiko meninggal. WHO bahkan telah memutuskan menyetop sementara uji coba obat malaria berdasarkan studi tersebut. WHO menilai tindakan ini demi keamanan pasien Corona. "Kelompok eksekutif menetapkan menghentikan sementara hydroxychloroquine dalam uji coba, sementara data keselamatan ditinjau oleh Dewan Pemantau Keamanan Data," jelas Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers virtual dikutip dari AFP, Selasa (26/5/2020).

Temuan BPOM Tentang Kesalahan Dasar Penelitian Obat Kombinasi Covid19

  1. BPOM melakukan inspeksi terhadap proses uji klinis pada 28 Juli 2020  dan uji klinis dimulai pada 3 Juli lalu. Dari hasil inspeksi itu, sudah muncul temuan mendasar berupa tidak terpenuhinya unsur randomisasi atau pengacakan subjek uji klinis. Padahal, subjek dari suatu riset harus memenuhi unsur pengacakan agar merepresentasikan populasi. Pengacakan itu berkaitan dengan keberagaman subjek penelitian, seperti variasi demografi, derajat kesakitan, hingga derajat keparahan penyakit dari yang ringan, sedang, hingga berat. Subyek yang diintervensi dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman tersebut karena itu bagian dari randomisasi acaknya itu yang merepresentasikan validitas dari suatu riset.
  2. Temuan fatal lainnya adalah proses uji klinis ternyata melibatkan sampel penelitian orang tanpa gejala (OTG) untuk diberi terapi obat. Padahal, sesuai dengan protokol uji klinis, OTG seharusnya tidak perlu diberi obat.
  3. Hasil uji klinis obat Covid-19 itu juga belum menunjukkan adanya perbedaan signifikan dengan terapi Covid-19 lainnya. Padahal, untuk dapat dinyatakan valid, uji klinis harus menunjukkan hasil yang signifikan. Suatu riset itu harus bisa menunjukkan bahwa sesuatu yang diintervensi baru tersebut memberikan hasil yang cukup signifikan, berbeda dibandingkan dengan terapi yang standar.

BPOM telah menyampaikan temuan inspeksi ini ke pihak Unair, TNI AD, dan BIN sudah lama. BPOM pun meminta tim pengembang untuk memperbaiki proses penelitian mereka. Namun demikian, hingga saat ini temuan inspeksi itu belum mendapat respons sehingga BPOM belum dapat menindaklanjuti kembali.

Mengapa Hal Ini terjadi

Beberapa hal kontroversial tentang klaim temuan metode pencegahan atau pengobatan Covid19  terus berulang terjadi. Seharusnya hal ini akan menjadi pelajaran terakhir bagi pemerintah khususnya pejabat ataupun siapapun individu di negeri ini untuk tidak terulang lagi. Hal ini terjadi karena kegagapan dan kepananikan kita semua dalam penanganan Covid19. Wabah penyakit ini memang adalah bukan hanya masalah kesehatan, tetapi berdampak kuat pada ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Sehingga di berbagai negarapun banyak perdebatan tentang mana yang menjadi prioritas kesehatan, ekonomi. keamanan atau politik.

Meski berkali kali diucapkan oleh pejabat negeri mengatakan bahwa akan melakukan penanganan bersamaan penanganan ekonomi dan kesehatan. Tetapi fakta dilapangan para pakar kesehatan merasakan bahwa masalah kesehatan bukan menjadi prioritas utama. Hal ini tampak dari personel Gugus Tugas Percepatan bukan didominasi oleh menteri Kesehatan tetapi didominasi Jenderal TNIAD. Ketika direvisi Gugus Tugas didominasi Menteri BUMN. Bahkan dirasakan masyarakat, justru kemenkes jarang sekali berbicara masalah kebijakan penanganan wabah. Bahkan dalam penelitian Vaksin dan Obat kemenkes tidak banyak dilibatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline