Lihat ke Halaman Asli

Widodo Judarwanto

TERVERIFIKASI

Penulis Kesehatan

Tidak Ada Pembaharuan Perbedaan Kriteria Hisab Rukyat, Pemerintah Menanggung Deritanya

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perbedaan penetapan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Menurut para ahli ternyata penyebab perbedaan itu bukanlah perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Para ahli astronomi modern mengatakan bahwa perbedaan mendasar yang terjadi adalah sampai saat ini karena Muhammadiyah masih menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi. Bila kriteria ini terus digunakan dapat dipastikan akan cenderung terjadi perbedaan. Selama kriteria itu tidak diperbaiki maka pemerintah akan selalu menanggung beban perbedaan dikalangan umat selamanya. Umat muslim Indonesia tidak usah kawatir bila pemerintah salah menentukan maka tidak akan menanggung dosa. Pemerintah sendirilah yang akan menanggungnya. Namun inilah muhjizat puasa, meski nantinya pemerintah salah dalam penentuannya maka pemerintah tetap mendapat kebaikkan. Dalam perbedaan tersebut umat muslim ternyata semakin bijaksana dengan saling menghormati perbedaan pendapat, tidak saling menyalahkan dan tidak merasa ada yang paling benar

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat. Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)". Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Namun mulai tahun 2000 PERSIS telah melakukan tajdid (pembaharuan) modernisasi pemahaman astronominya sehingga tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.

Beberapa perbedaan itu pernah timbul ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif.. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan masuknya bulan puasa karena bulan ("hilal") sudah wujud di atas ufuk saat maghrib. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, seperti Persis (Persatuan Islam), mengumumkan bulan puasa berdasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. Sementara NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.

Profesor T. Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN pernah mengatakan bahwa bila Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab yang diyakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Menurut ahli astronomi Indonesia itu pemahaman ini menunjukkan tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Sebenarnya wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Sedangkan teori kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar'i dan astronomisnya. Dari segi syar'i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari. Metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi yang berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari. Metode ini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat moder). Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pernah menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, diperbaharui dengan menggunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Dalam unia modern kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti kalender Ummul Quro-nya yang digunakan Arab Saudi. Para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi.

Bila Tidak Ada Pembaharuan, Pemerintah menanggungnya

Kunci utama untuk menyatukan kriteria tersebut harus dilakukan diskusi dan pembaharuan yang harus dilakukan oleh ahli asttronomi modern, ahli ilmu perbintangan (falaq), ahli ilmu syari'ah., Para ahli pernah mengusulkan untuk menjauhi pemahaman rukyat yang terjebak pada kejumudan atau kebekuan pemikiran dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Astronomi modern menganggap wujudul hilal, kriteria lama yang dapat dianggap usang. Para ormas Islam harus terus melakukan tajdid (pembaharuan) dalam penentuan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan). NU yang dianggap ormas tradisonal pun justru selalu menerima berbagai pembaharuan tersebut. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Kualitas dan jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak, walau mereka pengamal rukyat. Saudara kembar Muhammadiyah seperti Persis (Persatuan Islam), dengan Dewan Hisab Rukyat telah beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Seperti Muhamadiyah, sebelumnya Persis memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Namun Persis telah beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.

Selama kriteria tersebut tidak bisa disatukan maka akan sering terjadi perdebatan dan perbedaan penentuan bulan puasa, hari Idul Fitri dan Idul Adha. Para ahli pernah mengatakan bahwa beberapa ormas besar cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Para ahlipun juga mengatakan jangan sampai muncul kesan pada komunitas astronomi itu adalah sebuah "Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang".

Tetapi bila memang pemahaman kriteria tersebut sudah tidak bisa diadakan pembaharuan dan tidak bisa disatukan tidak akan bisa dipaksakan. Namun semua itu disadari bahwa tidak ada yang bisa memaksakan sebuah pemahaman kepada pihak tertentu dan semua pihak harus menghormati karena setiap pendapat mempunyai dasar pertimbangan dan dasar pemikiran yang dianggap paling benar. Dalam keadaan seperti ini maka pemerintahlah yang berwenang untuk melakukan sidang isthbath yang terdiri dari ahli falak, ahli ilmu syari'ah dan ahli astronomi modern dari berbagai ormas Islam dan institusi terkait di Indonesia. Sidang tersebut dilakukan setelah sebelumnya disebar petugas-petugas yang profesional untuk melihat hilal (bulan), sebagai standar waktu peribadatan dalam agama Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline