Lihat ke Halaman Asli

Widodo Judarwanto

TERVERIFIKASI

Penulis Kesehatan

Prita, Vonis Hukum Vs Vonis Masyarakat

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikabulkannya kasasi Jaksa oleh MA terhadap kasus pencemaran nama baik oleh Prita Muliasari kepada RS Omni Internasional kembali menuai kontroversi. Tampaknya kasus Hukum Prita mirip dengan kasus Bibit Chandra. Kedua kasus yang telah terlanjur divonis "pengadilan masyarakat" ketika dilakukan proses hukum secara profesional akan menimbulkan perdebatan panjang. Vonis masyarakat selama ini didominasi masalah sosial tanpa melihat fakta hukum. Apalagi bila masyarakat mendapatkan informasi kasus sepihak dari pemberitaan media yang tidak berimbang. Bila pengadilan masyarakat sudah terlanjur dijatuhkan bahwa Prita Mulyasari dan Bibit Chandra tidak salah maka apapun bentuk pengadilan hukum yang profesional pasti akan dianggap salah dan curang. Apalagi citra penegak hukum di Indonesia sudah terlanjur buruk di mata rakyatnya.

Masalah Prita menjadi rumit karena media selalu menyodorkan masalah sosial dan psikologis yang melatarbelakangi, khususnya masalah tiga anak Prita yang masih kecil. Sedangkan masalah hukumnya tidak pernah diungkap secara jelas dan lengkap. Selama ini kasus hukum yang diungkap adalah kasus berkeluh kesah lewat email terhadap pelayanan rumah sakit. Tetapi masalah pidananya tentang pencemaran nama baik terhadap dokter dan rumah sakit tidak pernah diungkapkan secara jelas. Jadi selama ini opini yang berkembang bahwa seorang lemah yang teraniaya secara hukum ketika mengeluh lewat email. Ditengah maraknya kasus korupsi, masalah ini didramatisir dengan timbulnya opini lain kenapa MA mengurusi masalah kecil ini tetapi tidak menyoroti masalah korupsi lainnya. Apalagi saat ini kasus dugaan korupsi tengah melanda partai penguasa, sehingga mencuatnya kasus ini dianggap sebagai pengalihan isu.

Kontroversi kasus pencemaran nama baik oleh Prita Muliasari menimbulkan gemuruh sosial, politik dan hukum yang sangat keras. Bagaimana tidak, dua tahun yang lalu jutaan masyarakat Indonesia baik masyarakat umum, mahasiswa, politikus dan tokoh masyarakat secara bertubu-tubi mengeluarkan sumpah serapahnya pada kepolisian, kejaksaan, bahkan pemerintah dalam hal ini presiden SBY terkena getahnya.

Dampak pencemaran nama baik

Pengalaman tidak mengenakkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah sakit, dilampiaskan dengan keluh kesah berkirim email pada temannya. Tidak diduga oleh siapapun ternyata curahan hati itu berdampak hukum, harus mendekam di penjara.
Sebenarnya bila ditilik secara cermat, pengalaman seperti ini banyak sekali dialami baik oleh pasien dan pihak rumah sakit dan tidak menjadi masalah besar. Cukup sering dijumpai seorang pasien mengadukan ketidak puasan layanan seorang dokter dan rumah sakit baik di media cetak, elektronik dan internet. Fenomena yang biasa terjadi ini menjadi sesuatu yang sangat besar karena baru pertamakali sebuah rumah sakit berani menuntut dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan pasien.

Mungkin bagi sebagian masyarakat hal itu merupakan sebuah sekedar kritikan untuk sebuah pelayanan Rumah Sakit. Kelompok lain mengatakan sekedar kirim email mengapa harus mengorbankan seorang Ibu rumah tangga dengan memisahkan dua anak kecil di rumahnya. Tetapi pihak dokter atau rumah sakit yang berseteru tetap bersikeras bahwa tulisan sang ibu jelas-jelas sebuah pencemaran nama baik.

Asal muasal sengketa adalah dugaan pencemaran nama baik oleh bekas pasien kepada rumah sakit yang pernah merawatnya. Dalam tulisan tersebut tersurat bahwa rumah sakit berikut dokternya sebagai penipu dan rumah sakit mencari pasien berkedok hasil laboratorium yang fiktif. Jadi sekali lagi permasalah utama adalah dugaan pencemaran nama baik, bukan sekedar penulisan atau berkeluh kesah melalui email. Fokus masalah yang tidak jelas inilah yang akan mengaburkan permasalahan yang sebenarnya ada. Interpretasi pemcemaran nama baik sendiri akan terjadi multitafsir sehingga harus diarahkan pada jalur hukum.

Dari pengalaman yang seringkali terjadi tersebut menjadi melebar tak tentu arah. Karena pelaku dugaan pencemaran nama baik adalah seorang ibu yang tidak berdaya yang mempunyai anak kecil maka opini, simpati dan dukungan mengalir secara deras tak terbendung tanpa melihat fokus masalah dan demi kebebasan berpendapat. Begitu yang menjadi pelaku sengketa adalah Rumah Sakit dan dokter, maka kesempatan munculnya opini yang tak terkendali menyudutkan tindakan dokter dan rumah sakit di manapun berada. Permasalahan menjadi melebar kemana-mana. Permasalahan berlanjut pada dokter yang dianggap tidak manusiawi, rumah sakit mata duitan, dokter tidak professional dan sebagainya. Dokter adalah manusia biasa, sangkaan tersebut adalah hal yang mungkin saja benar terjadi walau tidak boleh digeneralisasikan.

Paska reformasi bangsa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum yang melindungi setiap warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi peraturan perundang-undangan di Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan.

Paska reformasi masyarakat Indonesia mengalami euphoria demokrasi yang sangat hebat. Dahulu untuk berbicara dengan nada tinggi terhadap presiden sudah menjadi pidana, sekarang mengkritik presiden di depan umum adalah hal biasa. Tampaknya kasus Prita ini adalah kasus yang kesekian kali sebagai pembelajaran bagi bangsa ini dalam berdemokrasi yang sebenarnya.

Sebagai negara demokrasi kebebasan berpendapat tidak harus menjadi sekedar bebas mengemukakan pendapat tetapi harus bertanggung jawab dan beretika dalam berpendapat. Menentukan parameter nilai etika dalam berpendapat  yang ideal sangat sulit. Setiap upaya penentuan batas nilai etika berpendapat akan divonis sebagai pengebirian berpendapat. Bahkan undang undang baru seperti Undang-undang informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diciptakan oleh para ahli hukum dan pendekar demokrasi saja dianggap mengkebiri kebebasan berpendapat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline