[caption id="attachment_92793" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Tampaknya kesabaran kubu pemerintah tak tahan juga melihat perilaku media masa tertentu yang keblabasan dalam beropini, memprovokasi dan berinformasi tidak berimbang. Ketika Dipo Alam mengkritik dua stasiun televisi swasta dan sebuah media masa timbulah kontroversi dan emosi di kalangan pers. Di era demokrasi ini tampaknya opini yang tidak wajar itu akan menjadi biasa ketika kepentingan pribadi pemilik media dominan mempengaruhi misi dan strategi penyiarannya. Dalam keadaan seperti ini seharusnya SBY, Partai Demokrat atau siapapun partai berkuasa di republik ini nantinya harus punya stasiun televisi dan media masa populer yang menyeimbangkan pemberitaan dan opini yang saat ini tidak berimbang. Tampaknya bukan sekedar kritik yang dilakukan tetapi menurut beberapa pihak beberapa media dalam mengkritik sudah punya niat bukan untuk membangun bangsa tetapi untuk menjatuhkan kelompok tertentu demi kepentingan kelompok lainnya. Sekretaris Kabinet Dipo Alam karena sudah tidak tahan lagi sampai harus mengkritik dua stasiun televisi dan satu media cetak yang dikatakan tak melakukan pemberitaan secara terukur, yaitu TV One, Metro TV, dan Media Indonesia. Kedua televisi swasta yang dimiliki politisi tersebut dikatakan terus-menerus menjelekkan pemerintah. TV One adalah milik Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Sedangkan harian Media Indonesia dan Metro TV adalah milik politisi Surya Paloh, yang saat ini gencar membangun organisasi Nasional Demokrat, . Menurut Dipo, selain kerap menayangkan adegan kekerasan berulang-ulang, kedua stasiun televisi ini kerap menayangkan pemberitaan tak berimbang. Contohnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan kerja di Kupang, Nusa Tenggara Timur, awal Februari 2011. Saat itu, klaim Dipo, ada segelintir orang yang menggelar demonstrasi. Namun, kedua stasiun televisi tersebut memberitakan bahwa rakyat NTT menolak kehadiran Presiden. Padahal pendemo cuma segelintir. Bandingkan dengan yang menyambut Presiden dari Kupang sampai Atambua," katanya. Bahkan selanjutnya Dipo juga meminta masyarakat tak menonton televisi yang hanya menyebarkan kebohongan. Sebelumnya, Dipo mengancam media yang selalu mengkritik pemerintah tak akan mendapat iklan dari institusi pemerintah. Dipo akan meminta sekretaris jenderal dan humas-humas lembaga negara tak memasang iklan di media bersangkutan. Kemajuan pesat teknologi dan demokrasi bukan hanya menyebabkan eforia berdemokrasi tetapi juga menciptakan eforia informasi yang demikian luar biasa. Setiap orang yang punya media dan punya kesempatan dapat bebas mengeluarkan opini tanpa peduli etika dan semangat membangun bangsa. Tidak berimbang Tampaknya apa yang dikeluhkan Dipo Alam itu juga mungkin dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia yang cerdas dan peka. Saat ini media masa termasuk internet, televisi dan media cetak di Indonesia dipenuhi oleh media dan nara sumber yang mengeluarkan opini sesuai dengan seleranya dan sesuai dengan kepentingan pribadi atau pesanan kelompok atau partai yang mendukungnya. Bahkan beberapa opini pemirsa yang ada di media mengatakan hal yang sama. Seorang pemirsa mengatakan : "Dulu saya adalah penggemar stasiun televisi berita tertentu tetapi saat ini melihat lima menit beritanya sudah muak tidak tahan lagi karena beritanya provokatif dan tidak berimbang" Saat ini semakin langka manusia idealis dengan informasi yang independen dan berkualitas tanpa dipengaruhi kepentingan politis dan kelompoknya. Sehingga informasi yang ada hanyalah pikiran negatif dan tidak berkualitas. Informasi itu hanyalah berisikan saling tuduh, provokatif, saling menuduh, saling menyalahkan, tidak ada solusi dan tidak menyejukkan. Mungkin saat ini manusia idealis hanya berharap pada sosok profesi jurnalis, teknokrat, ilmuwan atau tokoh agama yang belum terpapari polusi politik yang jumlahnya semakin langka. Saat ini di Indonesia tampaknya idealisme jurnalistik semakin tergadaikan oleh kepentingan bisnis media, kepentingan pemilik modal yang terkait dengan kehidupan politik. Meski tidak sedikit juga media yang masih menjunjung tinggi idealisme jurnalistik tanpa mementingkan kepentingan bisnis media atau kepentingan pemilik media. Informasi yang tidak independent paling banyak dijumpai dalam berita politik, hukum dan sosial. Sumber utama kekisruhan informasi adalah pengaruh politik yang merasuki pemberitaan. Sedangkan kategori informasi hiburan, teknologi, pengetahuan dan kesehatan masih relatif murni dan tidak terkotori politik. Namun bukan hal yang tidak mungkin ke depan para politikus yang tidak bermoral memanfatkannya. Karena, saat inipun sudah mulai tampak sebagian dunia hiburan dipapari kepentingan politik. Saat ini eforia demokrasi dapat dilakukan oleh siapapun yang mempunyai media dapat melakukan pemberitaan apapun tanpa melihat fakta jurnalistik dan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Hal ini juga dapat dilihat saat ini jarang sekali kita menemukan berita yang secara fair tentang berita citra positif pemerintah dan prestasi bangsa ini. Adalah sangat langka keberhasilan pemerintah diangkat dalam sebuah berita. Kalaupun ada biasanya didominasi oleh kritikan dan pesan akhirnya malah membenamkan keberhasilan itu. Hal ini juga dilakukan bukan hanya oleh media tetapi oleh sebagian besar pengamat politik. Justru para nara sumber yang berkopeten seringkali diambil yang bombastis dan sarat dengan kepentingan tertentu. Saat ini menjadi barang langka seorang nara sumber baik dari para tokoh agama, teknokrat, ilmuwan, politikus yang menyuarakan fakta kebenaran yang berkualitas. Sayangnya sosok yang independen seperti ini jarang disorot media. Media cenderung menyenangi para nara sumber yang bombastis, layak jual dan mudah dikompori. Justru sosok seperti inilah biasanya mempunyai niat tidak tulus dan tidak baik. Mereka hanya beropini demi kepentingan pribadi dan kelompok yang mendukungnya. Langkanya Berita Independen Berita dan opini tergantung selera dan kepentingan orang yang memberitakan. Saat ini selain langka dengan manusia idealis juga langka dengan berita independen karena semua sumber informasi dan nara sumber didominasi kepentingan pribadi dan partai yang mengatasnamakan rakyat. Bahkan saat ini seorang kepala negarapun saat ini tidak pernah mendapatkan ruang yang cukup untuk menyampaikan pesan moral dan pesan penting untuk rakyatnya. Setiap pesan moral baik dan benar selalu saja dianggap salah dan dikaburkan oleh media masa dengan opini yang membenamkan Kontroversi itu pasti akan muncul ketika substansi pesan non politik kepala negara dilawankan arus politik masa. Sebagai seorang kepala negara setiap pendapat yang muncul di muka publik seharusnya bukan statement politik, karena Presiden bukan milik kelompok politik tertentu. Tampaknya hal ini sudah dilakukan SBY dengan berbagai pendapat umumnya di muka publik. Sayangnya setiap statement nonpolitik tersebut dikonfrontasikan dengan pola pikir politik praktis kelompok tertentu. Sehingga akibat yang timbul adalah perdebatan panjang yang sudah tidak logis dan tidak menyentuh pada substansinya lagi. Mungkin seorang Dipo Alam tidak salah mengkritik beberapa stasiun televisi tersebut karena di alam demokrasi ini semua pihak berhak mengkritik pihak lainnya. Bahkan di era demokrasi ini tidak salah dan hak seseorang bila seseorang memboikot pihak yang lain karena dianggap tidak etis dan mengganggu tidak fair terhadap kelompoknya. Yang salah adalah saat ini Dipo Alam orang pemerintahan. Saat ini bila pemerintah mengkritik pers maka pihak pers dan semua pendekar pembela kebebasan pers sangat sensitif dan meradang. Pihak pers tersinggung berat dan menganggap pemerintah dianggap jelmaan orde baru akan memberangus pers. Padahal Dipo Alam tidak ada niatan dan tidak punya kapabiltas atau kapasitas sedikitpun untuk memberangus pers. Keadaan tidak seimbang ini memang menguntungkan pers, Di saat pers dengan seenaknya mengkritisi pihak tertentu sampai melampaui batas dan melampaui etika tetapi di pihak lainnya tidak boleh mengkritik pers. Tetapi tiba saatnya pihak lain mengkritik pers maka dianggap upaya memberangus pers. Padahal sangat diyakini tidak ada secuilpun niatan atau keberanian pemerintah untuk memberangus pers di era demokrasi ini. Seharusnya bila pers boleh mengkritik sesukanya, sebaliknya bila dikritik jangan kebakaran jenggot. Meskipun itu adalah haknya sebagai manusia yang merdeka sebenarnya Dipo Alam tidak perlu memboikot pers dan mengkritik pers karena ternyata pers juga alergi terhadap kritikan. Sebaiknya Dipo mengusulkan pada SBY dan partai Demokrat untuk mendirikan media televisi semacam MetroTV, TVone dan media Indonesia. Harapan untuk menyeimbangkan informasi kepada TVRI tidak bisa diandalkan. Selain karena televisi pemerintah tersebut secara kualitas tidak bisa berkompetsi dengan televisi swasta. TVRI adalah milik pemerintah dan mewakili semua golongan masyarakat bukan kelompok atau partai tertentu. Bila SBY mempunyai media masa televisi dan media cetak maka bukan hanya menyeimbangkan informasi dan opini yang saat ini tidak berimbang. Dengan media itu SBY dapat mensosialisakan pesan pada rakyat atau menyampaikan kebaikan dan kehebatan ide dan pikiran dalam otak SBY yang selama ini dibungkan dan dibelokkan oleh media masa yang "beroposisi" dengan pemerintah. Selain itu sebenarnya Dipo Alam tidak perlu memboikot pers tertentu. Dengan berjalannya waktu rakyat mendapat pembelajaran dari media untuk memfilter informasi yang berdemokrasi santun atau berpolitik yang cerdas dan beretika. Secara tidak disadari ini merupakan pembelajaran penting sehingga rakyat nantinya mungkin akan memboikot media seiring dengan perjalanan waktu. Bila masyarakat semakin cerdas maka opini dan informasi tidak berkualitas akan semakin ditinggalkan. Tetapi bila masyarakat masih belum cerdas maka nuansa bangsa ini akan dipenuhi pikiran negatif dan saling menyalahkan. Sehingga berita yang tidak berimbang tersebut akan menyulitkan pemerintah yang sedang giat membangun bangsa ini. Bila media masa dan jurnalis yang seharusnya mengutamakan idealisme jurnalis tetapi terpapar kepentingan politik pemodalnya maka beritanya sangat tidak menarik dan penuh provokasi. Bila ini terjadi maka akan rusaklah etika budaya dan persatuan yang dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu. Pers tidak dilarang mengkritik, dan wajib mengkritik sebagai tugas profesi dan sosialnya. Tetapi seharusnya pers ideal adalah rajin mengkritik pemerintah tetapi demi kebaikan dan kemajuan bangsa bukan sekedar untuk kepentingan pribadi pemodalnya atau kelompoknya. Kalau ini terus terjadi maka Indonesia selalu dipenuhi oleh pikiran negatif yang hanya saling menyalahkan dan tidak pernah memberikan solusi tetapi hanya menimbulkan permusuhan. Saat ini sangat langka media berita dan informasi yang melangkah dalam idealisme profesi tanpa terpengaruh pemodalnya. Sekarang sangat sulit dijumpai media masa yang memberi pesan positif, inspiratif dan membangun bangsa. Sebaiknya pers dan semua pekerja jurnalistik harus menjunjung tinggi profesionalitasnya dengan mengacu pada kalimat orang bijak. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H