Ini juga sedikit menarik perhatian saya. Di Tv-tv dan media informasi lainnya di negeri ini, kita sudah sering mendengar tentang penganut Hindu yang masih bertahan di daerah-daerah tertentu di Indonesia pasca berakhirnya era Hindu-Buddha dan mulainya Jaman kerajaan Islam. Ada suku tengger di Jawa Timur, Suku Bali, serta Ajaran kejawen, yang merupakan sinkretisme antara Hindu dan Islam. ada juga aliran kepercayaan yang di Era Orde Baru "Dihindukan" lantaran politik Suharto yang ingin mengarahkan masyarakat untuk membenci Komunisme, yang mana ia mewajibkan rakyat untuk memilih salah satu dari 5 agama resmi negara (di luar dari 5 agama itu, dianggap Komunis). Aliran-aliran yang "diHindukan" ini antara lain Kaharingan (kepercayaan Suku Dayak) dan Aluk To Dolo (kepercayaan Suku Toraja).
Ada sedikit hal yang mengganjal. Penganut Hindu berhasil bertahan dan membentuk komunitas tersendiri di wilayah wilayah yang belum dijangkau oleh penyebar agama Islam waktu itu (umumnya pedalaman), lalu bagaimana dengan Buddhisme?
Tampaknya ada missing link. hehehe..... bukannya sok ilmiah, namun hasil dari browsing yang saya lakukan mengenai sejarah Buddhisme di Indonesia pasca masuknya Islam, hasilnya kurang memuaskan. Saya hanya mendapatkan fakta bahwa Buddhisme di Indonesia mulai muncul kembali setelah masuknya pedagang-pedagang asal Tiongkok di era Kolonial. Padahal yang saya cari adalah 'Era sebelum itu' yaitu era kerajaan Islam. Dimana mereka?
Mungkin salah satu yang agak 'melepaskan dahaga' adalah catatan blog dari http://fujiprastowo.wordpress.com/2013/05/18/suku-sasak-budha-di-nusantara/. Di situ dituliskan bahwa beberapa warga suku Sasak di pulau Lombok masih menganut agama Buddha dari leluhur mereka. Namun, menurut Mbah Wikipedia (http://ms.wikipedia.org/wiki/Sasak), Sudah ada beberapa perubahan dari agama Buddha ortodoks dan Buddha yang mereka anut saat ini. Salah satunya adalah kepercayaan bahwa ada 5 tuhan yang besar, dimana yang paling besar disebut "Bhatara Guru", lainnya ada "Bhatara Sakti" dan "Bhatara Jeneng", dan uniknya, mereka punya istri... Belakangan agama Buddha yang Orthodox sudah mulai diajarkan kembali, terutama oleh organisasi-organisasi Buddha di Indonesia.
Nah itu yang di Lombok. Saya tidak bisa menjamin keakuratannya karena saya juga hanya bermodal Googling di Internet. Tapi saya mencoba untuk melihat ke daerah tempat saya tinggal saat ini: Lembah Perbukitan Menoreh, tepatnya di Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah.
Di era kerajaan Mataram, Bagelen dikenal sebagai tanah keramat bagi kegiatan keagamaan sehingga dibebaskan dari pajak. Dan wilayah di sekitar perbukitan Menoreh pun, termasuk Bagelen, mempunyai ikatan sejarah yang sangat kental dengan Agama Hindu-Buddha. Sejauh yang saya tahu, ada 2 gua di bukit ini yang mengandung peninggalan Era Hindu Buddha, yaitu goa Kiskendo (masuk wilayah Kabupaten Kulonprogo) dan goa Seplawan (masuk wilayah kabupaten Purworejo). Di goa Seplawan bahkan pada tahun 28 Agustus 1979 ditemukan Arca Siwa dan Parwati berbahan dasar Emas.
Okeh, fokus ke Buddha-nya ya.
di Bagelen sendiri ada seorang tokoh Wanita yang bernama Nyi Bagelen (sepertinya bukan nama asli, namun diambil dari nama tempatnya tinggal). Ada yang mengatakan dari kata Pagelen yang merupakan serapan kata Medang Gele, yaitu Kerajaan Medang Kawulan. Nyi Bagelen diperkirakan adalah seorang Buddhis, lantaran bentuk makamnya berupa Stupa sebanyak sembilan buah.
Tapi, Nyi Bagelen saja tidak cukup. bukankah yang saya cari komunitas Buddhis pribumi/non Tionghoa, bukan tokoh sejarah? :D
Ingatan saya kembali ke jaman SMK. Ketika itu saya berbincang bincang dengan seorang sahabat yang sekolah SMPnya tepat di ujung perbukitan Menoreh sebelah selatan. Ia menuturkan bahwa di SMP-nya itu (SMPN 17 Purworejo) ada beberapa belas penganut Buddha. Rata-rata rumah mereka ya di pegunungan situ. saya awalnya ragu dengan ucapan teman saya ini. Apakah benar penganut Buddha? jangan-jangan Hindu?
Saya berusaha menekankan perbedaan Hindu dan Buddha padanya. Bukan apa-apa, tapi sudah berulang kali saya menemukan banyak anak-anak muda kita (bahkan juga orang tua) yang sudah tidak tau bedanya Hindu dan Buddha (menyedihkan sekali).
Ternyata ia juga tahu bedanya, dan tetap bersikeras bahwa murid-murid itu beragama Buddha, bukan Hindu.
Setelah saya perhatikan agak lama, akhirnya saya mulai percaya bahwa memang ada komunitas itu. Dalam perjalanan dari rumah saya ke pusat kecamatan Bagelen, saya melihat sebuah papan penunjuk vihara. lebih tepatnya Vihara Giriloka.